Benarkah kubu Fauzi Bowo menggunakan strategi ‘psy-war’ — dengan memancing emosi kubu Jokowi? Mengapa sejauh ini kita belum melihat adanya reaksi kemarahan apalagi panik dari kubu Jokowi?
Hari-hari ini media ramai memberitakan isu SARA terkait dengan pemilihan gubernur DKI. Sesudah pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) memenangi putaran pertama Juli lalu, belum lama ini muncul berita tentang Raja Dangdut Rhoma Irama yang disebut-sebut kepleset dalam ceramahnya yang berbau suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).
Dalam ceramahnya di Masjid Al-Isra, Tanjung Duren, Jakarta Barat, pekan lalu Rhoma mengimbau kepada jamaahnya untuk tidak memilih pemimpin kafir (nonmuslim). Tapi ketika dipanggil Panitia Pengawas Pemilu DKI Jakarta, Senin (6 Agustus) lalu, Rhoma mengelak.
Oleh Syafiq Basri Assegaff *) – Artikel ini dipublikasikan pada portal media “Inilah.Com”, Jumat 10 Agustus 2012.
Katanya, saat itu ia bicara dalam kapasitas sebagai seorang ulama, bukan bagian tim kampanye Fauzi Bowo (Foke). Ia merasa tidak ada yang salah dengan pernyataannya itu. “Saya hanya menyampaikan ayat yang tertuang di Al Quran,“ kata Rhoma, Saya siap menerima konsekuensinya.”

Maka Rhoma pun mengharapkan pengertian semua pihak agar tidak sampai terjadi benturan antara Muslim dengan non-Muslim. Ia juga menolak minta maaf atau melakukan ‘islah’ (perdamaian). “Karena kita nggak bermusuhan. Saya sangat menghormati Jokowi dan Ahok dalam konteks berbangsa,” kata Rhoma.
SARA atau bukan, yang jelas suara-suara dukungan dari para tokoh kepada pasangan Foke-Nara terdengar kian riuh. Tak kurang tokoh seperti Hatta Rajasa dan Amien Rais juga ikut bicara.
Foke makin menggencarkan pendekatan kepada umat Islam, antara lain dengan mengatakan,”Saya berkeyakinan jika seluruh umat Islam ini bersatu maka akan lebih dekat lagi Jakarta ini kepada keberkahan Allah. Semoga Allah membuka yang lapang pada putaran kedua nanti,” terangnya.
Itu semua, memberi kesan bahwa tampaknya kubu Foke boleh jadi hendak menggunakan taktik komunikasi yang ‘beda’, yakni dengan pendekatan pada ‘emosi’ – bukan saja emosi para pemilih yang mayoritas memang beragama Islam, tetapi juga emosi pesaingnya, pasangan Jokowi-Ahok. Siapa tahu, dengan mengusik emosi pihak Jokowi-Ahok, akan muncul reaksi yang merugikan mereka dan menguntungkan kubu Foke.
Dalam taktik ‘bertempur’ memang aspek emosi – semacam ‘psy-war’ — sering dipakai sebagai ‘senjata’ komunikasi yang ampuh. Secara lambat laun, jika kita berhasil membuat pihak lawan terpancing, marah atau ‘meledak-ledak’, maka itu akan menguntungkan kita.

Pemanfaatan aspek emosi itu – sambil mengangkat ‘kelemahan’ pihak lawan di mata khalayak pemilih – mungkin saja diambil kubu Foke, berhubung putaran pertama Pilgub DKI lalu strategi atau pun taktik yang dipakai tim Foke-Nara belum berhasil meredam kekaguman pemilih terhadap kubu Jokowi-Ahok, yang sebenarnya hanya ‘pendatang’ di DKI.
Di mata masyarakat Jakarta, Jokowi-Ahok terbukti dipersepsi sebagai memiliki banyak ‘kelebihan’, sehingga berhasil mengungguli perolehan suara Foke-Nara.
Sesungguhnya banyak contoh kasus dalam soal ‘psy-war’ ini. Petinju legendaries Muhammad Ali, misalnya, sangat dikenal sebagai orang yang piawai memainkan emosi lawannya, bahkan jauh sebelum mereka naik ke atas ring.

Sejarah militer dunia juga mencatat banyak contoh serupa. Komandan tentara Ch’i, Sun Pin, umpamanya. Suatu ketika Sun Pin yang merupakan loyalis tulen Sun Tzu memimpin pertempuran melawan tentara Wei yang dipimpin jenderal P’ang Chuan.
Kubu Wei punya kekuatan dua kali lipat tentara Sun Pin. Maka Sun Pin pun mengatur taktik mengelabui sekaligus memancing emosi lawan. Ia memerintahkan bala tentaranya menyalakan seratus ribu obor mereka saat malam pertama memasuki wilayah Wei. Malam berikutnya, hanya 50 ribu obor dinyalakan. Lalu 30 ribu pada hari ketiga.
Tindakan itu berhasil memancing emosi pihak Wei – yang kemudian ‘merasa’ lebih kuat, dan tentara tidak pengecut seperti tentara Sun Pin. Pada hari ketiga itu jenderal pasukan Wei mengatakan,”Saya tahu, memang orang-orang Ch’i itu pengecut .Hanya dalam tiga hari lebih dari separuh mereka melakukan desersi.”
Dengan kata lain, Sun Pin berhasil membuat P’ang Chuan merasa arogan, overconfident, dan tidak lagi berhati-hati – menganggap remeh musuh. Maka, tanpa membawa infanteri berat, P’ang Chuan memutuskan untuk segera bertindak cepat menyerang markas Ch’i hanya dengan sedikit pasukan. Tentara Sun Pin sengaja mundur, membiarkan tentara Wei terpancing masuk ke lorong-lorong sempit.

Seketika terjebak di lokasi yang sulit begitu, pasukan Wei pun diserbu dan diporakporandakan tentara Sun Pin. Sesudah itu, gugurnya pimpinan tentara Wei dan kekuatan mereka yang pincang membuat Sun Pin menaklukkan sisa tentara musuh dengan mudah.
Pesan komunikasi yang dikirim tentara Sun Pin, lewat jumlah obor yang makin hari makin berkurang, sengaja dilakukannya untuk memancing emosi P’ang Chuan, sehingga ia merasa sangat percaya diri, dan ‘careless’; dan bahwa pihak pasukan Sun Pin ‘lemah’, serta terdiri dari orang-orang yang penakut.
Kondisi ‘takut’, ‘merasa kuat’, sebagaimana ‘marah’ atau ‘panik’ – semuanya adalah emosi, yang bila dimainkan dengan piawai memang bisa menjadi senjata ampuh untuk memukul pihak lawan.

Dalam kasus Pilkada DKI sekarang, bila benar bahwa kubu Foke menggunakan taktik ‘psy-war’, maka kita belum melihat adanya reaksi kemarahan apalagi panik dari kubu Jokowi-Ahok.
Malah, saat ditanya wartawan soal ceramah Rhoma itu, Jokowi justru berdiplomasi. “Sebagai penggemar berat Bang Haji Rhoma, saya senang dengan beliau. Lagu-lagu Bang Haji sangat menginspirasi saya,” kata Jokowi.
Agaknya Jokowi tahu bahwa kemarahan dapat melemahkan. Reaksi emosional yang negatif dalam hal apa pun – lebih-lebih saat semua orang ‘mengamati’ perilakunya sebagai calon gubernur — hanya akan mengurangi pilihan yang bisa dilakukannya, karena ia dapat ‘memenjarakan’ pribadi yang bersangkutan dan mengeruhkan pikiran.
Dengan kata lain, kita bisa mengatakan bahwa rupanya Jokowi dan Ahok, tidak ingin menganggap persoalan isu SARA sebagai sesuatu yang sifatnya ‘personal’, dan terus berusaha mengontrol emosi mereka dalam merespon.
Kita tidak tahu apa yang akan terjadi pada putaran kedua nanti. Tetapi, para ahli komunikasi mencatat bahwa, ketika Anda bisa menempatkan diri dalam posisi ‘adem-ayem’ – tidak terpancing emosi – maka Anda memperoleh tenaga baru. Bahkan Anda bisa balik mempermainkan reaksi emosional pihak lawan.

Dalam menghadapi lawan yang ‘marah’, pada akhirnya, respon terbaik adalah ‘tidak memberi reaksi. Tidak ada yang lebih mengesalkan (bagi pihak lawan) lebih dari pada melihat bahwa mereka tidak terpancing dan bertahan ‘cool’, sedangkan sang lawan sendiri justru kehilangan kesabaran.
Bila yang demikian terjadi, maka di depan perilaku lawan yang ‘kekanak-kanakan’ itu Anda dengan mudah dapat memelihara harga diri dan ketenangan atau serenity. Dan semuanya itu menjadi penting untuk mempertahankan kekaguman, bahkan cinta, pemilih khalayak kepada sang pemimpin.
*) Konsultan komunikasi, dan dosen komunikasi di Universitas Paramadina, Jakarta. Twitter: @sbasria
Seandainya saya bisa lebih dari 1x mengklik “like,” akan saya lakukan.
Bang Haji Oma Irama memang “ulama” dengan spesialis “dangdut”.
Lucu juga Bang Foke ya. Kampanye terampuh bagi bang Foke – menurut saya – adalah dengan menunjukkan prestasinya selama beliau memimpin DKI- Itu saja; alangkah sederhanyanya. Biarkan khalayak menilai. Sukseskah ia? Gagalkah ia?
Terima kasih banyak atas komentar Anda, Teh Mieke. 🙂 Satu ‘like’ saja sudah sangat menggembirakan.