
Suatu hari Kiwir terkejut ketika membaca sebuah berita tentang tingginya angka perceraian di Indonesia. “Jumlah perceraian di Indonesia meningkat.”
Ia share kekagetannya itu pada Misro kawannya.
– Tahu gak, Bung Misro, data terakhir Kementrian Agama mencatat ada 250 ribu kasus perceraian di Indonesia pada tahun 2009?
+ Ah, masa’ ? Sebanyak itu Bung?
– Iya, dan angka ini sama dengan 10% jumlah pernikahan di tahun 2009, yakni sebanyak 2,5 juta. Jadi, jumlah perceraian naik 50 ribu kasus dibanding tahun sebelumnya, karena pada tahun 2008 ada 200 ribu perceraian…
+ Waaah… gawat dong Bung! Tahu dari mana tuh.. Jangan ngarang ya.. !
– Oalaaaah…Bung Misro ini.. Memang kapan saya pernah mengada-ada? Jelek-jelek begini, saya ini mantan wartawan yang tahu bagaimana mencari dan menyajikan informasi yang sahih dan valid. Informasi saya bisa diverifikasi Bung. Nih lihat saja sumbernya…
Kiwir lalu memberikan link (URL) Koran Waspada online 27 Februari 2010 lalu yang ada di depannya.
+ Oh ya.. waaah.. ini parah ya Bung. Masa’ di sini dikatakan bahwa pada periode 5-10 tahun lalu kasus perceraian di Indonesia hanya 20 ribu hingga 50 ribu per tahun? Sekarang sudah mencapai 250 ribu..? Gawat ya Bung!
– Makanya Bung.. Kata teman saya yang dokter, ‘ketimbang pada mati gara-gara ‘stress menahun’ (chronic stress) akibat terlalu banyak menanggung derita didhalimi isteri, mendingan mereka pilih bercerai saja…’
+ Kok bisa? Apa yang mendhalimi hanya istri? Suami kan juga banyak, Bung.
– Iya sih.. Entah mana yang lebih banyak. KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) suami terhadap isteri, atau sebaliknya; jaman sekarang ini bukan mustahil banyak juga isteri bertingkah kejam pada suaminya – meski tidak secara fisik; dan itu bisa bikin stress juga lho…
+ Ah, Bung Kiwir ini tendensius sekali. Saya sih tetap belain kaum wanita. Mereka yang biasanya lebih banyak diperlakukan sewenang-wenang oleh para suami!
– Entahlah, Bung Misro. Yang jelas, saya punya penelitian menarik nih. Katanya, ada sinyalemen, banyak suami cepat mati karena ‘diganyang’ isterinya. Atau, iya deh, kalau menurut Sampeyan, isteri cepat mati karena ‘didhalimi’ suaminya.

+ Wow.. apa lagi tuh Bung? Bahan dari mana? Valid dan sahih juga kan?
Kiwir kemudian menceritakan tentang hasil penelitian penerima hadiah Nobel Kesehatan tahun 2009 lalu, yang setidaknya mengungkapkan hal menarik: “jangan-jangan banyak laki-laki lebih cepat meninggal akibat menanggung stress akibat ‘ulah buruk’ (didhalimi) para isteri mereka.”
Jangan kuatir, Wahai kaum feminist teman-teman Bung Misro: Kiwir hanya pakai kata ‘suami’ sebagai judul, biar menarik saja. Tetapi, bukan mustahil bahwa sebaliknya bisa saja terjadi, boleh jadi isteri juga pendek umur akibat suami yang sewenang-wenang kepadanya.
“Memang Bung Misro, di situ tidak secara telak hal itu dikatakan demikian, tapi diduga kuat hasil penemuan menyibakkan hubungan erat antara ‘stress kronis’ dengan penyakit. Maka, kalau penyakitnya berat atau fatal, seperti stroke, kanker, dan sejenisnya, tentu saja — di atas kertas — orang mudah meninggal dunia,” kata Kiwir lagi.
(Versi serupa tulisan ini pernah dipublikasikan pada Facebook saya, 11 Oktober 2009 lalu).
Walhasil, kalau Anda, para Pembaca teman-teman Kiwir dan Misro mau dengar, ini cerita Kiwir soal itu. (Kiwir kemudian memberikan pembahasannya secara ‘sok’ ilmiah.)
Elizabeth H. Blackburn — salah seorang pemenang Nobel Kedokteran tahun 2009 — mengatakan bahwa stress yang lama (alias chronic stress) diduga kuat memperpendek rantai telomere. Kata ‘telo’ pada kata ‘telomere’ itu bukan ‘telo’ (ubi bahasa Jawa), melainkan bagian paling ujung chromosom.

Sabar.. Tentang chromosom (atau kromosom) dan hal-hal yang berkaitan dengannya seperti DNA, nanti saya catatkan di bagian bawah.
Pertama, hubungan antara pemendekan yang terjadi pada rantai (benang) telomere dan rusaknya pengaturan enzim telomerase, ditemukan, berkaitan dengan stress menahun (chronic stress). Malah dugaannya hal itu bukan hanya ‘berhubungan’ melainkan juga mungkin sekali menjadi penyebab – causative.
Meski masih menggali keterangan mekanisme terjadinya hal itu secara komplit, ia melihat adanya efek yang kuat hubungan antara ‘telomere’ dengan sistem kekebalan tubuh (immune system). Hal ini membuka ‘peluang bagus’ untuk lebih memahami apa yang terjadi pada penyakit-penyakit di dalam badan,” kata Blackburn.
Makin dipahaminya kaitan antara telomere dan immune system ini merujuk kepada studi yang lebih jauh mengenai sel-sel darah putih (yang berfungsi menjaga pertahanan tubuh manusia).
Lebih jauh tentang Telomere, Kromosom dan DNA itu, begini ringkasnya:
- Kita sudah lama tahu DNA membawa informasi genetic dari sebuah sel dan mengandung ribuan gen.

- Setiap gen menyediakan resep bagi sel untuk membangun molekul protein. Protein punya tugas sangat penting bagi sel untuk menjalankan fungsi-fungsi pembangunan dan pemeliharaan tubuh. Kalau pembangunan dan pemeliharaan tubuh terganggu, otomatis sistem kekebalan (pertahanan) tubuh terganggu, dan manusia sakit. Macam-macam: yang ngeri adalah kanker, infeksi berat, stroke, serangan jantung dan berbagai penyakit fatal lainnya.
- Jalur informasi dari gen-gen menentukan komposisi protein, dan dengan demikian (juga menentukan) fungsi sel bersangkutan.
- Kromosom-kromosom ada dalam DNA, zat mikroskopik (kuueecciiil banget) yang ada dalam inti sel. Setiap sel mengandung informasi genetik dan oleh karenanya DNA menduplikasikan dirinya sebelum sel membelah diri (replikasi).
Pembelahan diri dalam sel ini ibarat orang ‘beranak’. Karena sel tidak kawin, ia otomatis memperbanyak anak dengan cara membelah dirinya sendiri — mungkin karena gak ada penghulu dan wali dari kantor KUA di situ. Hehehe..
Nah, di bagian paling ujung ‘benang kromosom’ tadi itu ada telomere yang kerjanya membutuhkan enzim ‘telomerase’. Dan tadi itu, si telomere yang rusak menyebabkan sel menjadi ‘sakit’, dan otomatis jutaan atau milyaran sel (hasil pembelahan diri) jadi ikut ‘sakit’.
Rumit deh penjelasannya. Buat orang awam, mudahnya ibaratkan saja dengan proses membuat kue. Awalnya anda butuh bahan baku: tepung, gula, mentega, dan sebagainya. Nah, tepung itu terdiri dari milyaran butir-butir putih yang menyusun diri menjadi serbuk tepung. Kalau beberapa butir tepung ada yang ‘rusak’ tentu kuenya jadi gak enak — atau malah sama sekali tidak jadi kue.

Nah, rusaknya tepung itu, ibaratkan bulir-bulir benang kromosom yang ada dalam inti sel tubuh kita. Jika ada yang rusak sedikit saja, maka ketika sel itu membelah diri (replikasi), maka bagian yang rusak ikut ter-copy.
Berhubung ada milyaran (atau trilyunan?) sel dalam tubuh, maka kerusakan (penyakit) itu menjadi merata. (Catatan: sekali lagi, harap diingat: sel beranak dengan cara membelah dirinya sendiri, bukan bersetubuh seperti manusia).
Subhanallah, siapa yang memerintahnya sehingga sel membelah diri sendiri, kemudian kromosom mengatur proses itu, mengirim kode, di dalam inti, di dalam sel, di dalam organ, di dalam tubuh?
Mengapa semuanya bisa bekerja sendiri seperti itu? Tentu saja ada suatu Zat yang mengaturnya. Dan kita yakin, zat itu hanyalah Tuhan Yang Maha Pintar.
“Tapi ingat Pak Misro, Zat Yang Maha Pintar itu paling benci pada perceraian, meski itu halal… ,” kata Kiwir menutup perbincangannya.
Baca juga:
- Tuhan itu Tidak Ada: Dialog dengan Tukang Cukur.
- Mencari Suami: Celoteh Kiwir soal Supermarket yang jual suami.
- Hati Yang Mentakjubkan 5: Pembahasan Soal Hati Manusia oleh Imam Ali.
- Puncak Kefasihan: Nasihat Khalifah Ali bin Abithalib as.
Setuju gan, Kalau sudah tidak bisa dipertahankan ya lebih baik diakhiri
Yang saya saksikan, lebih banyak orangtua tunggal perempuan ketimbang lelaki. Mereka berjuang sendirian membesarkan anak-anaknya (Ayo Mas Kiwir/Bang Misro, bisa menyimpulkan, siapa membuat stress siapa?) Apakah para lelaki sanggup seperti ibu-ibu tunggal tersebut? Wadooooh, jangankan sudah bercerai, masih terikat pernikahan dengan seseorangpun, bisa saja menikah lagi. Mungkin kita harus melihatnya dari sisi prosentase, bukan dari jumlah.
Btw, sesuai dengan pendapat TCM (Taditional Chinese Medicine), lebih banyak orang sakit gara-gara PPD (Penyebab Penyakit Dalam) alias karena emosi berlebihan. Emosi yang bagaimana? Ya, bisa berupa rasa marah, gembira, berpikir/merenung/melamun, sedih, juga takut/khawatir.
Terima kasih untuk ulasan tentang DNA, telomere, telomerase – semuanya saja. Betul, semua ini membuat kita semakin meyakini berbagai ke Maha-an Dia, Allah swt yang menciptakan kita semua
saya juga ikut miris, Pak terhadap catatan perceraian tersebut. Hal ini terlihat di perbedaan bangunan KUA Jakarta selatan dan Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Bangunan KUA masih tetap kecil dan bangunan Pengadilan Agama telah diperluas dan dibuat 2 tingkat.