Belum lama dilantik, Menteri Kesehatan Dr Nafsiah Mboi, SpA, MPH sudah menuai kecaman. Ia bermaksud mengkampanyekan penggunaan kondom bagi kelompok seks berisiko.
Kecaman dan protes muncul dari berbagai pihak, termasuk dari Majelis Ulama Indonesia dan dari Muslimat NU.

Menangkis keberatan banyak pihak itu, Nafsiah berusaha mengklarifikasi maksudnya. Humas Kementerian Kesehatan pun sengaja menyiarkan video yang diunggah ke Youtube.
Oleh Syafiq Basri Assegaff *). Kolom ini dibroadcast dalam portal media “Inilah.Com”, Kamis 21 Juni 2012.
Di video itu Menkes mewanti-wanti seks berisiko bisa terjadi di semua umur, termasuk remaja. “Kami melihat HIV/AIDS makin meningkat, penyakit kelamin makin meningkat. Kenapa? Karena meningkatnya seks berisiko,” ujar Menkes yang juga mantan Sekretaris Eksekutif Komisi Penanggulangan AIDS Nasional dan mantan anggota DPR.
“Kita tidak akan membagi-bagikan kondom gratis pada masyarakat umum,” kata Menkes.
Selanjutnya ia menjelaskan bahwa, bagi sekelompok masyarakat yang sudah melakukan hubungan seks berisiko, perlu diberikan pendidikan agama, dan lainnya. Lalu, kepada mereka diberikan konseling perubahan perilaku, supaya segera menghentikan perilaku seks berisiko itu.
“Namun, kalau seseorang tetap melakukan hubungan seks berisiko, yang bisa kita lakukan adalah menghimbau supaya menggunakan kondom untuk mengurangi dampak buruk dari hubungan seks berisiko ini,” kata Nafsiah, “Ini juga sangat penting.”

Tetapi, bagi sementara pihak, rencana Menkes yang pernah menjadi Direktur Department of Gender and Women’s Health pada badan PBB untuk kesehatan (World Health Organization), itu tetap dianggap janggal.
Ketika Kementerian Agama tengah menyiapkan program gerakan Magrib Mengaji, dan Kementerian Pendidikan Nasional dan Kebudayaan menyiapkan Pedoman Pendidikan Karakter, tiba-tiba Nafsiah melansir rencana yang berbeda atau dianggap bertentangan.
Sebagai dokter ahli kesehatan masyarakat dan spesialis anak, memang masuk akal jika Nafsiah bermaksud mempromosikan gerakan ‘pencegahan’ – karena mencegah lebih baik dari mengobati.
Tetapi, sebagai dokter juga seharusnya ia tahu bahwa, bagi setiap penyakit setidaknya ada dua diagnosa yang mesti disiapkan sebelum mengambil tindakan untuk mengobati.
Pertama adalah ‘diagnosa kerja’, yang belum tentu benar – untuk sekedar memberikan terapi sambil menunggu hasil pemeriksaan lain (seperti laboratorium) diperoleh.
Kedua, yang lebih penting, adalah ‘diagnosa definitif’, alias ‘sumber utama penyakit’ yang bersifat mendasar: saat hasil uji laboratorium dan pemeriksaan tambahan lain telah lengkap.
Nah, bukankah dalam urusan meningkatnya penderita HIV/AIDS, atau pun naiknya angka aborsi di kalangan pasangan remaja, ‘sumber utama penyakit’ bukan pada ‘kenakalan remaja’ atau ‘seks berisiko’ itu sendiri?
Bukankah sumbernya, seperti diakui Nafsiah sendiri, terletak pada kurangnya pendidikan agama, banyaknya godaan negatif di tengah masyarakat — atau dalam bahasa Nafsiah, “adanya stimulan untuk meningkatkan kegairahan seks,” — dan komunikasi yang minim antara orang tua dan para remaja itu?
Itu semua secara akumulatif menjadi ‘sumber utama’ penyakit seks berisiko tadi, sehingga pada tahun 2011 terdapat sekitar lima juta wanita menggugurkan kandungan, dan 62% (lebih dari tiga juta) di antaranya adalah remaja 16 tahun ke bawah. Angka itu meningkat dari data tahun 2010, ketika remaja yang melakukan aborsi berjumlah sekitar dua juta orang.

Walhasil, persoalan anak-anak bangsa yang parah itu tampaknya tak bisa dijawab dengan kampanye penggunaan kondom. Sebab, alih-alih dari menyelesaikan masalah, promosi penggunaan kondom itu mungkin hanya mengurus puncak gunung es, sementara masalah sebenarnya tidak tersentuh.
Bagi sebagian orang, kampanye pemakaian atau bagi-bagi kondom yang popular di Barat itu mirip dengan program pemberian jarum suntik gratis kepada pengguna narkoba.
Sesungguhnya, Menteri Nafsiah bisa bersikap lebih arif. Ia mestinya tahu bahwa kunci semuanya itu adalah soal komunikasi.
Dialog atau pembicaraan lintas kementerian, misalnya, mesti diintensifkan. Menteri Kesehatan juga harus menggalakkan diskusi dengan berbagai pihak, dengan landasan bahwa rakyat Indonesialah — dan bukannya pemangkukepentingan di Barat – yang menjadi ‘prime customers’.
Sebelum menggebrak dengan kampanye apa pun, Menkes selayaknya lebih dahulu berdialog dengan semua audiensnya dan mencari solusi bersama,demi kepentingan anak-anak bangsa.
Baik sekali seandainya dapat menerapkan komunikasi yang persuasif. Bukan saja kepada masyarakat secara umum, tetapi juga kepada setiap tokoh secara individual, kepada komunitas, kepada organisasi (termasuk ormas) dan melalui jejaring sosial.
Lewat teknik persuasi, yang mesti diingat, yang muncul adalah ‘proses yang bertahap’. Melalui strategi yang halus dan tidak terkesan memaksa, semua ‘persuader’ dapat menjadikan pihak lain (persuade) berpikir bahwa apa yang ditawarkannya merupakan hal yang memang patut dipertimbangkan.
Demikian pula,para orang tua dan guru, selayaknya dapat menerapkan pendekatan persuasif kepada para remaja – sehingga atas kemauannya sendiri, para remaja itu mau mencegah seks bebas (berisiko), pornografi, dan berbagai dosa lainnya.
Terakhir, satu hal yang mesti diingat Menkes adalah bahwa, ada segudang masalah ‘urgent’ lain di Indonesia yang juga memerlukan perhatiannya. Ada soal gizi buruk, masalah air dan sanitasi, TBC, kesehatan lingkungan, meningkatnya insidensi penyakit jiwa, dan tingginya angka kebutaan.

Oh ya, barangkali Menkes mesti main-main ke Internet juga. Di mesin pencari Google saja ada lebih dari 168.000 situs yang menawarkan “cara menggugurkan kandungan yang aman.”
Tidakkah semuanya itu merupakan ‘alarm’ bagi kita juga?
*) Konsultan komunikasi, dan dosen komunikasi di Universitas Paramadina, Jakarta. [mor]
Baca juga:
- Pentingnya Mendengar, artikel lain di blog ini.
- Resep Komunikasi di Era Internet, artikel lain di blog ini.
- Doa Saat Sakit: ada di kategori ‘Diskusi Agama’ di blog ini.
Pembagian kondom secara gratis.. Bagi saya itu adalah sebuah hal yang agak aneh tetapi nyata terjadi. Sebenarnya apa yang menjadi bagian dan tugas dari MenKes adalah benar untuk lebih peka lagi dengan keadaan sosial salah satu masalah seksual. tetapi kemudian, apakah MenKes menjamin bahwa nantinya angka seks diluar nikah akan berkurang? bukankah semua kembali lagi bagaimana si anak atau individu tersebut mendapatkan pendidikan seks dini yang dimulai dari lingkungan keluarga lalu keluar kepada komunitasnya. yaa, paling tidak anak mendapatkan bekal dini etika perilaku di lingkungan. apalagi, kita hidup di budaya Timur yang pembahasan kondom seperti ini saja dapat menjadi perdebatan dengan kata lain hal tabu.
ironis memang. kembali lagi, menurut pandangan saya, kondom bukan jaminan seks aman 100%. kondom pula bukan solusi untuk seks diluar nikah. seyogyanya, masalah seks merupakan masalah personal. kalaupun Menkes ingin mengurangi angka seks diluar nikah, masih ada jalur lain yang bisa ditempuh seperti penyuluhan. tanpa penyuluhan pula, apakah kemudian masyarakat semua lapisan mengerti kondom itu apa, bagaimana bentuknya, dan fungsinya untuk apa.
Terima kasih, Agatha.
Sebuah komentar yang menarik dan perlu disimak bersama.
pembagian kondom, bagi saya hanya sebagian rencana kecil untuk mencegah terjadinya penyebaran HIV/AIDS di masyarakat. apalagi pembagian kondom tidak selalu memberikan dampak positif, malah mungkin bisa disalah gunakan. pencegahan HIV/AIDS sebaiknya tidak hanya dilakukan dengan pembagian kondom saja, tetapi juga perlu dikombinasi dengan cara berkomunikasi yang tepat. atau kalau perlu melakukan kampanye / sosialisasi HIV/AIDS dengan membuat communication plan terlebih dahulu, dengan demikian kampanye tersebut bisa berjalan dengan baik dan sesuai target.
sesuai dengan target disini adalah, kampanye bisa mengenai target yang tepat, seperti pembagian kondom hanya kepada orang dewasa (yang sudah menikah) dan pendidikan tentang HIV/AIDS kepada anak – anak dan remaja 🙂
Terima kasih Fajar. Anda benar, communication plan itu penting sebelum membuat rencana promosi apa pun.
Saya ingat pada obrolan sekitar tahun 80-an dengan Bu Dosen PTN terkenal di . . . Indonesia. Beliau (orang Indonesia asli) mengatakan akan memberi anak remajanya alat kontrasepsi, “Daripada hamil” begitu katanya. Saya ingat betul keterpanaan saya saat itu . . . . .
Menurut hemat saya, garda terdepan adalah pendidikan secara luas – pendidikan agama harus melandasi semuanya. Mari saling mengingatkan bahwa orangtua adalah sekolah pertama dan utama bagi anak-anaknya – keluarga adalah unit sekolah terkecil.
Bagi pemeluk agama Islam, kita sudah akrab (mudah-mudahan semuanya) dengan “Jangan DEKATI zina”. Kalau mendekati saja tidak kita lakukan, apalagi mengerjakannya. (Kata Mpok Minah, zina itu luas lho. Berpakaian tidak senonoh sudah bisa dikategorikan “mendekati zina” – maksud si Mpok adalah berzina mata. Nah, istilah zina mata bahkan diperoleh Mpok dari teman sekantornya yang beragama katolik. Si teman bilang “Hati-hati pada zina mata, lho!” Ujung-ujungnya, si Teman memberi Mpok Minah “Jalan Keselamatan” alias Injil, diembel-embeli “Bacalah ini agar kamu diselamatkan” katanya. Di sana, dalam bab kitab Korintus, tertulis: “Barangsiapa yang tidak mau menutupi kepalanya, harus menggundulinya ” Herannya, si Teman tidak menutupi kepalanya, juga tidak menggundulinya.
Untuk teman-teman sesama guru, mari kita perhatikan cara pergaulan antar jenis peserta didik kita. Jadilah contoh yang baik – dalam berbagai aspek – bagi para peserta didik. (Jangan lupakan peserta didik awal kita – anak-anak kandung kita di rumah, juga mereka yang ada di bawah tangan kita).
Membicarakan persoalan kondom memang seperti mengasah pisau bermata dua. Di satu sisi tujuannya untuk ‘mengamankan’ namun di sisi lainnya terlihat ‘mengijinkan’. Seperti apa yang dilakukan oleh Menteri Kesehatan Dr Nafsiah Mboi, saya yakin yang beliau lakukan semuanya berujung pada niat baik. Namun, tidak bisa dipungkiri, niat ini terlihat bertentangan. Memang benar, kita harus memberikan pendidikan yang lebih kepada remaja ataupun dewasa muda di Indonesia untuk memperhatikan aktivitas seksual mereka. Menjaga mereka agar tidak melakukan seks beresiko. Jika melalui jalur ‘pendidikan’ dari segala segi dan melibatkan para orang tua tidak mampu membuat hal yang tidak kita harapkan tetap terjadi, maka kondom adalah pilihan terakhirnya. Menurut opini saya, ketika Menkes mengkampanyekan penggunaan kondom kepada orang-orang yang dianggap dapat melakukan seks beresiko, secara tidak langsung mengajarkan mereka untuk ‘melakukannya’. Asal aman, maka tidak akan menjadi masalah, jika kondom sudah disuarakan. Maka, yang akan terjadi bisa lebih mengerikan lagi, seks sebelum adanya pernikahan semakin menyebar layaknya penyakit HIV/AIDS yang ditakuti oleh seluruh lapisan masyarakat.
Terima kasih, Monivia.
Kampanye kondom ini berbeda dengan kampanye lain seperti berkendaraan yang aman (safety driving), atau anti merokok. Jika salah metodenya, bisa-bisa justru jadi bumerang: bukan mengurangi risiko dan penularan penyakit STD (Sexsual Transmitted Diseases) seperti HIV/AIDS dan lain-lain, melainkan justru memperparahnya.
Dulu pernah ada kampanye pemakaian kelambu (bed nets) untuk memerangi malaria di beberapa negara Afrika yang dilakukan salah satu lembaga kemanusiaan dunia. Ternyata, di antara temuan yang mempersulit kampanye kelambu itu adalah: banyak yang menggunakan kain kelambu untuk menjaring ikan atau lainnya. Ada juga yang memasang kelambu menyelubungi tempat tidur, tapi orangnya justru tidur di luar kelambu. Hehehe 🙂
Halo Dok,
Pernyataan Anda bahwa kejadian kehamilan di luar lembaga pernikahan dan IMS melejit karena promosi kondom, apakah pernah ada buktinya dari negara lain? Mungkin akan kurang tepat kalau melihat data dari negara-negara barat (Eropa, Amerika), tapi mungkin akan lebih cocok untuk melihat negara tetangga, misalnya Thailand. Saat ini, di Thailand penyebaran HIV sudah lebih terkendali terutama karena peran 2 faktor pendukung: (1) akses kondom yang mudah, dan (2) lembaga keagamaan / pemimpin agama berusaha mendorong masyarakat untuk tidak menstigma orang yang hidup dengan HIV.
Yang masih menjadi masalah di Thailand adalah promiskuitas yang tinggi terutama di daerah rural (identik dengan keterbatasan pendidikan), plus umur sex debut yang makin muda. Namun uniknya angka kejadian STD cenderung dalam batas wajar, seiring angka penggunaan kondom juga meningkat. Situasi ini melokalisir masalah lebih kepada pendidikan moral dalam keluarga dan lembaga agama (sebagai penjaga moral). Agama Budha yang dipeluk mayoritas masyarakat Thailand juga memiliki aturan-aturan yang keras tentang hubungan seks, Aturan mengenai seksualitas di Thailand bahkan mungkin lebih keras dari di Indonesia. Bila kita amati di Thailand, tidak akan ditemukan kios-kios pinggir jalan yang menjual ‘pil biru’, ‘kondom getar’, atau alat-alat / obat-obat lain sejenisnya. Adapun kondom mudah ditemukan di minimarket 24 jam atapun di toilet-toilet pria di tempat-tempat umum.
Kebijakan 100% condom coverage oleh pemerintah Thailand selain berhasil mengendalikan (sebagian) penularan HIV, ternyata juga membuka kesempatan masa depan untuk generasi mudanya. Remaja yang sempat ‘salah jalan’ karena dorongan hormonalnya, masih berkesempatan kembali ke jalan yang benar dengan minimum sequele. Kebijakan pemerintah Thailand tersebut berhasil memotong efek domino dari hubungan seks beresiko yang dapat berujung pada hilangnya satu-dua generasi (akibat aborsi yang tidak aman, AIDS, infeksi PMS, dll.).
Saya pikir memang perlu dilakukan promosi kondom kepada mereka yang melakukan hubungan seks beresiko – sebagaimana yang disampaikan Bu Menkes kita. Justru upaya Menkes ini seharusnya didukung oleh kementerian-kementerian lain dengan menggalakkan gerakan moral abstinensi dan be faithful. Kondom hanya upaya terakhir bila kedua barikade moral itu runtuh. Yang sebaiknya berada di garda paling depan adalah pendidikan dan agama. Mereka berdua yang membentuk karakter bangsa ini dan meletakkan fondasi untuk menahan rembesan budaya-budaya yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Bila semua pemimpin mempunyai visi menyelamatkan masa depan bangsa, maka idealnya kerjasama inilah yang harus dilakukan. Bukan dengan menyalahkan, menghakimi, mencerca dan menjadikan kondom sebagai kontroversi. Kondom itu alat yang bodoh, dan dia juga tidak akan masuk surga.
Terima kasih, dokter Adhi (benar kan?).
Komentar yang sangat menarik, komprehensif dan logis. Barangkali Anda benar, tetapi seharusnya Bu Menkes itu tidak terburu-buru bikin kampanye sebelum bicara dengan berbagai stakeholders. Thailand bukan Indonesia, karena berbagai alasan. Dua di antaranya: 1. Penduduk Thailand mayoritas bukan Muslim atau Katolik (yang juga tidak membolehkan kontrasepsi). 2. Negeri Gajah Putih itu sudah sangat parah kasus AIDS-nya, sehingga perlu ada ‘revolusi’ dalam bidang pencegahan. Bukan berarti kita boleh enak-enakan dan lengah. Tidak. Kita tetap harus waspada. Maka saya setuju dengan Anda, benteng moral dan pendidikan agama dan umum, diperkaya dengan pendidikan seks yang tepat. Bisa manfaatkan para pemimpin agama, ulama, pendeta, pastor, dsb. Juga gandeng tokoh lain, audience lain, termasuk remaja sendiri. Tapi sebelumnya harus duduk bersama dulu, bicarakan secara serius dan saling bertukar masukan.
Anyway, sekali lagi terima kasih atas komentar Anda.
Membaca tulisan Bapak ini, nampaknya Anda salah satu pihak yang kurang setuju dengan kampanye kondom oleh Ibu Menteri.
Menurut saya, kampanye / program bagi-bagi kondom bagi kelompok beresiko, bisa menjadi salah satu jalan untuk mengurangi tingkat penderita HIV/AIDS dan jumlah kasus aborsi di Indonesia. Karena menurut data yang dimuat dalam Suara Karya Online ada sekitar 40-45% remaja di Indonesia yang telah melakukan seks pranikah. Kelompok ini, yang bisa disebut sebagai kelompok beresiko, tentu tidak bisa dijangkau hanya dengan melakukan komunikasi pengarahan kembali ke jalan yang benar. Pemberian informasi mengenai pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan dengan menggunakan kondom akan lebih efektif.
Namun, saya tidak berkata bahwa pengajaran mengenai agama, budaya, moral tidaklah penting. Dalam konteks ini, peran orang tua dan pendidik yang sangat dibutuhkan. Bagaimana, untuk mulai bersikap terbuka, tidak menganggap hal tersebut sebagai hal tabu untuk dibicarakan, dan bagaimana komunikasi persuasi yang Anda tulis di atas perlu dijalankan untuk menjangkau sisa 55-60% remaja Indonesia yang masih belum terkontaminasi.
Thanks, Siska. Secara prinsip saya sependapat dengan Anda. Pendidikan seks penting, bukan tabu, bagi remaja. Tetapi harus bijaksana dan berhati-hati melaksanakannya. Alih-alih dari mencegah mereka melakukan perbuatan cabul (karena libido orang muda yang sering tak terkontrol), bisa-bisa cara yang salah justru menjerumuskan mereka kepada tindakan haram itu. Dan bila itu terjadi, angka kehamilan di luar nikah dan aborsi malah bisa melejit jauh di atas yang sekarang.
Terima kasih.