Masih soal ‘hati‘. (sambungan bagian 1)
Berikutnya, Imam Ali bin Abithalib a.s. bicara mengenai marah.
“Saat hati dipengaruhi bara emosi (anger), maka amok (kemarahan berlebihan) menjadikannya menyala-nyala.”
Yang dimaksud marah berlebih (atau amok) itu dalam bahasa Inggris disebut ‘rage’.
Maaf, kita terpaksa mesti pinjam kata bahasa Inggris ‘anger’ dan ‘rage’ di atas, untuk memberikan penekanan derajat ‘panas-nya’ api kemarahan.
Pasalnya, agak sulit menerjemahkan kalimat aslinya, karena bahasa Indonesia hanya punya istilah “marah“, paling-paling marah kecil, marah besar. Kata ‘amok’ pun (dari ‘run amok‘, bahasa Inggris) , meski berasal dari bahasa Melayu (amuk) atau Tagalog Filipina (nag-amok), lebih memberikan warna ketimbang kata ‘marah’.
Baiklah. Tapi bagaimana dengan senang dan sedih yang sering melanda hati, wahai Imam?
“Ketika hati sedang memperoleh limpahan kemudahan dan kesenangan, ia lalu lupa untuk berhati-hati,” katanya.
Duh, pas benar ya? Coba rasakan deh.. perhatikan bagaimana diri kita, atau orang di sekeliling kita, yang sedang mendapatkan limpahan kesenangan, bukankah orang itu kemudian seolah lupa diri, atau ceroboh dan sembarangan?
Lalu bagaimana halnya dengan perasaan ‘takut‘? Ini kata beliau:
“Saat hati dipenuhi ketakutan, ia menjadi tersandera oleh kehati-hatian yang berlebih.”
Kalimat ini mengingatkan kita pada wisdom “10 Pedoman Hidup” Imam Ali yang lain, ketika salah di salah satu tausiyahnya beliau menyatakan bahwa ‘dosa terbesar adalah takut’. (Silakan baca di bagian lain blog ini).
Pada saat lain, menantu Nabi saww ini juga menyatakan bahwa orang memang harus selalu ‘berhati-hati’ dan waspada, tapi ketakutan yang berlebihan menjadikan sesorang ‘pengecut’.
Menilik dari kata-kata bijak beliau, rupanya Imam Ali selalu menekankan perlunya ‘berada di tengah’ — tidak di satu titik ekstrim. Dan itu tampaknya sejalan dengan Islam yang menjadi ‘ummatan wasathan‘ (umat yang di tengah) — Tidak Barat dan Tidak Timur.
Contohnya ya soal takut itu tadi. (Kiwir teman kita nimpali: “wah itu jadi kayak Non-Blok ya.. Moderat, tidak ke kanan tidak ke kiri…?”)
Sebelum menutup tulisan pendek ini, sudi kiranya merekam apa yang beliau garis-bawahi dalam mutiara hikmahnya, dan sekali lagi saya kutipkan untuk Anda, Saudara-saudaraku yang cantik dan ganteng — Anda, para pembaca blog ini, yang terkasih:
“semua kekurangan pada hati itu membahayakannya (sang hati), dan semua dampaknya menjadikannya kerdil dan membusuk…”
Wallahu a’lam…
Related articles (Baca juga):
- Hati Yang Menakjubkan – bagian 1
- The Virtues of the Family of The Prophet (pbuh)
Bung syafiq,tulisannya luar biasa,makanya ana ijin share/copas buat teman2 yg lain…
cuman,1&4nya mana ya…?
Terima kasih banyak.
Bagian 1, 3, 4 dan 5 semua ada di sini (bisa dicari di bawah ‘categori’ juga). Dengan senang hati, silakan share.
Salam.
Tulisan indah untuk direnungkan dan diamalkan – tentu saja. Bagaimana dengan pilihan kata “murka”? Oh ya, rasa-rasanya bukan mentakjubkan, melainkan menakjubkan – tapi entahlah, saya bukan ahli bahasa, hanya terasa janggal di lidah. Saya analogikan dengan “tarik” menjadi “menarik” atau “tertib” menjadi “menertibkan.” Ah, yang lebih penting kan esensi tulisan ini, jadi ejaan bukanlah masalah besar. Tabik lagi dan terima kasih (kan sudah disebut cantik – huahahaha . . .)
Teh Mieke benar. Seharusnya “Menakjubkan”, dan bukan ‘mentakjubkan’, karena “t’ -nya luluh ya.. 🙂
Terima kasih atas masukannya (dan saya sudah menggantinya. Mudah-mudahan tidak ada yang terlewat). Juga terima kasih atas berbagai tanggapan dan ‘likes’ Teh Mieke selama ini. Semuanya itu sangat encouraging. Jazakillah khairan katsieran.
Salam.