Sukhoi dan Reputasi


Pesawat Sukhoi Superjet 100 yang dibuat Rusia sejak runtuhnya Uni Soviet tiba-tiba jatuh di kawasan Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat, Rabu (9/5). Jatuhnya pesawat ini tentu mengancam reputasi pembuatnya.

Belum jelas apa sebabnya. Semua pihak pasti tidak sabar menunggu hasil penelitian Komisi Nasional Keselamatan Transportasi.

Dua pihak terkena dampak Superjet naas itu. Pertama, ia mencoreng nama baik industri penerbangan Indonesia yang sedang berjuang untuk mendongkrak reputasi.

97005 a Sukhoi Superjet 100 at the 2010 Farnbo...
Pesawat Sukhoi Superjet 100 pada Farnborough Air Show 2010 (Wikipedia)

Kedua, yang tampaknya paling terpukul, adalah reputasi industri penerbangan Rusia. Superjet itu membawa harapan besar bagi Rusia, yang tengah ngotot berupaya meningkatkan nama baik industrinya dengan sejumlah prestasi membanggakan.

Oleh: Syafiq Basri Assegaff. Artikel ini dimuat dalam media online,”Inilah.Com”, 11Mei 2012.

 

Apa boleh buat, jatuhnya Sukhoi ini – sekitar satu pekan setelah inagurasi Presiden Rusia Vladimir Putin untuk ketiga kalinya – jelas memperdalam ‘luka’ industri penerbangan Rusia yang selama ini harus berurusan dengan berbagai masalah keamanan, kerusakan dan beberapa ‘crash’ yang membawa banyak kematian, sehingga sulit menjualnya di luar wilayah bekas Uni Soviet, Iran, Kuba dan sebagian Afrika.

“Mereka harus cepat menjernihkan masalah (kecelakaan) itu, benar-benar segera,” kata Richard Aboulafia, analis penerbangan dari perusahaan Teal Group di Fairfax, Virginia, AS, sebagaimana dikutip The Newyork Times, Kamis kemarin. ”Pesawat ini telah membawa harapan bagi Rusia untuk bangkit kembali, memperbaiki apa-apa yang sebelumnya mereka alami.”

Superjet 100 diproduksi oleh perusahaan pemerintah Rusia, Sukhoi, yang lebih dikenal sebagai produsen pesawat tempur. Pesawat Superjet itu berharga sekitar US$31,7 juta (sekitar Rp285 milyar), yakni sekitar 30% lebih murah ketimbang harga pesawat jet jarak-pendek sejenis yang diproduksi Kanada. Itu sebabnya, Sukhoi berharap dapat menjual seribu unit selama dua dasawarsa ke depan.

Dalam rangka road-show di depan para eksekutif penerbangan di enam negara Asia yang dimulai pekan sebelumnya, Sukhoi telah melalukan joy flight di Myanmar, Pakistan dan Kazakhstan. Rencananya, setelah Indonesia, Superjet 100 itu akan mengunjungi Laos dan Vietnam.

Ada kabar bahwa sesungguhnya sebelum terbang dari Bandara Halim Perdanakusumah pada Rabu siang, pesawat itu menjalani pengecekan ‘preflight’, dan bahwa demonstrasi yang dilaksanakan pagi harinya telah berjalan secara baik, tanpa ada masalah teknis. Dikatakan pula, bahwa pesawat tersebut telah melengkapi 500 penerbangan tanpa ada laporan mengenai masalah teknis serius.

Vladimir PUTIN – saat inagurasi di Rusia

Namun, apa boleh buat, kecuali jika nantinya terbukti bahwa penyebab kecelakaan adalah kesalahan pilot (human error) — dan bukannya kegagalan mekanis — maka mungkin sekali sekian banyak calon pembeli akan menunda transaksi mereka dengan pihak Sukhoi.

Sesungguhnya, kecelakaan saat demo ini bukan tanpa preseden. Sebuah Airbus 320 pernah mengalami kecelakaan serupa saat melakukan ‘demonstration flight’ pada 1988 lalu, menewaskan tiga orang dan melukai 50 lainnya.

Hasil investigasi memastikan bahwa penyebabnya adalah kelalaian sang pilot, dan tidak ada bukti penyebab teknis. Sesudah itu, A320 menjadi salah satu model pesawat paling banyak dijual.

Jika nanti analis menemukan ‘human error’ sebagai penyebab jatuhnya pesawat di Cidahu itu, boleh jadi rencana pembelian 240 unit oleh berbagai pihak akan berjalan lancar. Sebaliknya, jika nantinya ditemukan cacat dalam desain pesawat, maka bukan mustahil semua order pembelian yang ada bisa batal.

Reputasi.

Sejak awal, tampaknya awan hitam banyak menyelingkupi Superjet. Ketika tahun lalu pesawat pertama masuk ke dunia komersial lewat perusahaan airline Rusia Aeroflot, Superjet itu sempat dilarang terbang (grounded) akibat adanya kerusakan alat pendeteksi kebocoran pipa-pipa yang mengalirkan udara sejuk ke dalam kabin.

Itu semua tentu menurunkan reputasi Superjet. Sehingga ia makin sulit bersaing dengan perusahaan sekelas Airbus dan Boeing.

Lima perusahaan dengan reputasi tertinggi: bisa menjual dengan harga lebih mahal.

Tapi apakah memang Rusia seolah tidak peduli pada reputasi perusahaan penerbangan mereka? Belum tentu. Masalahnya, di banyak negara lain pun soal reputasi masih menjadi kendala bagi banyak perusahaan.

Para pimpinan dan CEO perusahaan memang menyadari pentingnya ‘nama baik’, tapi hal itu tidak menjamin mereka melaksanakan program untuk meneliti reputasi mereka sendiri.

Sebuah survei oleh konsultan komunikasi Amerika Burson-Marsteller menemukan bahwa, 95% pimpinan bisnis yakin bahwa reputasi perusahaan ‘memegang peran sangat penting’ dalam upaya meraih tujuan usaha. Tetapi anehnya hanya 19% yang memiliki sistem formal untuk mengevaluasi nilai reputasi perusahaan mereka.

Di antara penyebabnya adalah karena reputasi itu ‘intangible’, dan ia sebuah konsep yang kompleks. Selain itu, nilai uang bagi perbaikan tumbuhnya reputasi – yang merupakan konsep jangka panjang – sulit dikuantifisir, sementara pimpinan usaha sering disibukkan mengurusi kegiatan operasional yang mendesak.

Selain itu, berhubung masalah reputasi mencakup area yang luas di dalam organisasi, maka sulit mengalokasikan tanggungjawab secara spesifik pada fungsi kerja masing-masing bagian.

Boleh jadi, karena itulah urusan ‘nama baik’ Sukhoi jadi terkendala. Saat memasuki produksi Superjet tahun lalu, stasiun televisi Rusia NTV melaporkan bahwa, 70 insinyur di pabrik pesawat itu kedapatan telah menggunakan ijazah palsu dengan cara menyuap sebuah sekolah teknik.

Tetapi pihak Sukhoi menyanggah, dan mengatakan bahwa, “mereka tidak terlibat secara langsung dalam proses assembling pesawat.”

Sebelum itu, tempo hari sejumlah pesawat Tupolev — yang dibuat salah satu divisi United Aircraft Corporation, induk perusahaan Sukhoi — juga terlibat dalam berbagai kecelakaan.

Menurut para analis, berbagai kecelakaan yang dialami pesawat-pesawat pada era Soviet dulu juga membawa ‘luka lama’ bagi reputasi Sukhoi. Belum lagi bila menghitung pesaingnya dalam dunia aviasi, Airbus dan Boeing. Keduanya menjadi penghalang terbesar bagi Sukhoi, karena Airbus dan Boeing telah memiliki catatan keamanan (safety record) yang tinggi dan sejarah panjang.

Apa boleh buat, perusahaan seperti Sukhoi seharusnya sadar bahwa segala biaya dan rintangan tidak boleh menghalangi mereka dalam membangun ‘nama baik’ itu, khususnya karena manfaat amat besar yang bakal dipetik berkat reputasi yang baik.

Di antara manfaat itu adalah, pertama, ‘customer preference’: semua pembeli akan bersemangat melakukan bisnis dengan Anda saat banyak produk dan jasa perusahaan lain tersedia dengan harga dan kualitas yang sama.

Selain itu, perusahaan bisa menjual produknya lebih mahal ketimbang pesaing dengan reputasi buruk.

Namun kini kita ragu, apakah Sukhoi masih bisa menjual Superjetnya setinggi Rp285 milyar, mengingat bahwa satu kecelakaan saja sudah bisa memerosotkan nilai saham perusahaan. Contohnya, saham Exxon pernah anjlok 20% segera setelah insiden kapal Exxon Valdez pada 1989.

*) Konsultan komunikasi, dosen komunikasi di Universitas Paramadina, dan di STIKOM London School of Public Relations, Jakarta.

7 thoughts on “Sukhoi dan Reputasi

  1. sebelumnya saya ingin menyampaikan rasa turut berduka bagi keluarga korban pesawat Sukhoi. saya berpendapat bahwa kecelakaan di gunung salak itu terjadi karena human eror dan keadaan alam. sebaik – baiknya seorang pilot, tetapi tidak memahami keadaan geografis di sekitarnya itu sama saja dengan bunuh diri. walaupun demikian, kesalahan teknis juga tidak bisa terlewatkan walaupun hanya hal kecil seperti gangguan transmisi akibat gelombang stasiun radio lokal dan handphone. keadaan alam juga sangat mempengaruhi terjadinya kecelakaan pesawat, apalagi di Gunung salak terdapat kabut yang tebal, sehingga bisa mengganggu penglihatan dan bisa mengakibatkan menabrak benda di depannya. untuk soal human eror sendiri saya pernah melihat bagaimana pilot pesawat sukhoi melakukan manuver – manuver seperti pesawat jet pada saat melakukan joyflight sebelum di Indonesia, saya pun makin yakin bahwa human eror bisa menjadi penyebab kecelakaan yang ditambah dengan keadaan alam yang liar. karena seharusnya pesawat penumpang tidak seharusnya ada acara “sirkus pesawat” dengan manuver – manuvernya. nyawa penumpang jauh lebih penting, saya juga menambahkan, selain meningkatkan reputasi dan kualitas mesin pesawat, pihak dari Rusia juga harus lebih meningkatkan kualitas para pilotnya 🙂

  2. Melalui blog ini, saya juga ingin menyampaikan rasa duka yang mendalam bagi keluarga yang ditinggalkan akibat kecelakaan pesawat Sukhoi. Sebelumnya, saya sudah sering mendengar tentang banyak kecelakaan yang sering terjadi di gunung Salak, namun peristiwa naas ini (dari misi pencarian pesawat, pencarian jenazah, black box, pengidentifikasian jenazah) dan proses-proses lainnya yang membutuhkan waktu yang sangat lama dan melelahkan tentu ingin dicari akar permasalahannya. Tentunya keluarga yang ditinggalkan menginginkan jawaban dari mengapa pesawat Sukhoi tersebut jatuh, saya rasa mereka tidak perduli dengan masalah krisis reputasi yang akan dialami oleh pihak perusahaan Sukhoi. Saya pernah menonton di salah satu siaran TV yang mengadakan talkshow (ketika itu black box masih belum ditemukan), di talkshow tersebut dibahas mengenai bagaimana jika hasil penelitian dari isi black box diketahui bahwa itu bukan masalah human error, namun secara teknis ada kegagalan yang dialami oleh pesawat tersebut, dan publik mengetahuinya. Tentunya akan menjadi masalah bagi Sukhoi, mereka akan merugi karena bisa jadi banyak pihak akan membatalkan rencana pembelian pesawat tersebut. Lalu, salah seorang narasumber mengatakan bahwa, biar bagaimapun, safety adalah no 1, dan saya sangat setuju. Saya rasa, dalam peristiwa ini, kasus untung-rugi harus dikesampingkan dulu. Ini adalah peristiwa yang sangat menyedihkan, etika yang baik dalam menghadapi keluarga korban yang sedang berduka dan memberikan solusi yang terbaik sangat dibutuhkan. Kendala urusan bisnis diharapkan bisa menjadi urutan kesekian. Image memang harus dipertahankan, namun moral dan sisi kemanusiaan dalam menghadapi hal-hal seperti ini harus menjadi prioritas. 🙂

    1. Terima kasih banyak,Enjelly.
      Anda benar,urusan moral dan sisi kemanusiaan dalam urusan kecelakaan seperti Sukhoi ini harus lebih dikedepankan ketimbang masalah image dan bisnis.
      Semoga ini menjadi kecelakaan terakhir di Indonesia.

  3. Saatnya negara produsen pesawat lbh peka,lbh canggih krn siicon cuaca sngat berbeda, polusi pun luar biasa.Unt Sukhoi mmg perlu intruspeksi sblm menjualnya. Tetapi menurut saya bnyak kesalah manusia.

    1. Matur nuwun, Mbak Sestri. Setuju, Sukhoi perlu introspeksi. Juga otoritas penerbangan kita harus berkaca: jangan sampai terulang lagi tragedi di Gunung Salak itu. Kalau ada kecelakaan sekali lagi saja, lebih baik Menteri Perhubungan mundur saja. Gimana, setuju?

  4. Tentunya saya merasa turut berduka bagi keluarga korban Sukhoi dan bagi Indonesia yang bertubi-tubi tertimpa masalah terkait reputasi. Saya rasa kita tidak lagi perlu disibukkan dengan “apa” dan “siapa” yang salah dalam musibah tragis ini. Kunci dari penyelesaian kasus ini adalah “waktu”, sementara bagaimana membangun kembali reputasi pihak penerbangan yang bersangkutan adalah dengan “listening”. Bantuan PR sangat diperlukan dalam hal ini. Baru saja saya membaca mengenai “Why listening helps PR during a crisis”, yang mengatakan bahwa, “If you have an effective stakeholder listening process set up you will hear, and you can react to, the issue and where it came from. You can do this accurately and with speed, thus saving time and helping minimise issue/crisis escalation and negative reputation impact” (http://craigpearce.info/). Kata “listening” dalam hal ini berarti semua pemberitaan media, curahan hati dan harapan keluarga korban, pandangan tokoh dalam masyarakat, termasuk opnum pemerintah di dalamnya perlu didengarkan dan disaring sesuai dengan kepentingan dalam membangun reputasi. Ketika krisis seperti ini, pihak Rusia dan Indonesia seharusnya menjalin kerjasama dan mengadakan diskusi seputar permasalahan apa saja yang harus dengan segera diselesaikan dan bagaimana melakukan proses evakuasi dan perbaikan secara efektif dan cepat. Jika proses ini saja berjalan lambat, bagaimana bisa membangun kembali kepercayaan masyarakat yang semakin bertambah hari, semakin menipis. Saya sendiri saja sebagai masyarakat awam yang tidak memahami hal teknis pesawat, tidak bisa menerima pemberitaan yang berusaha memperbaiki citra Sukhoi dengan menonjolkan teknologi dan segala kelebihannya. Jadi cara ini sepertinya tidak dapat digunakan dulu oleh PR Sukhoi. Di saat seperti ini, masyarakat justru menjadi takut untuk menerima keberadaan pesawat seperti itu di Indonesia (tidak peduli dengan segala keunggulan yang ditawarkannya). Yang dibutuhkan adalah tanggung jawab secara menyeluruh dari pihak berwenang kepada keluarga korban dan menyusun kembali jaminan masa depan untuk menghindari kasus serupa terulang kembali. Melalui kasus ini, kemampuan pilot dan teknisi dari maskapai penerbangan lainnya juga perlu dicek kembali. Belajar dari kasus ini, meskipun human error belum terbukti, namun tetap kita tidak hanya bisa bergantung pada kemampuan mesin saja. Frekuensi radio amatir dan alasan teknis lain boleh jadi adalah pemicu kontroversi Sukhoi menurunkan ketinggiannya, namun kehandalan pilot juga seharusnya memainkan peranan penuh dalam hal ini.

    1. Terima kasih untuk komentar Anda, Jeany. Tulisannya cukup mencerahkan. Two thumbs up !

Silakan Beri Komentar

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s