Alkisah, sebuah department store menjual calon suami baru diresmikan. Baru sampai di sini, si Kiwir tertawa ngakak:” huahaha…ada-ada saja. Toko jualan calon suami…”

Benar. Menjual lelaki, calon pengantin pria. Bangunannya mewah, bertingkat enam. Segera sesudah dibuka, toko itu diserbu kaum wanita. (Mungkin karena sekarang ini lebih sulit cari calon suami ketimbang calon isteri, kaleee?)
Di situ para wanita single dapat memilih calon suami yg diinginkannya. Di setiap pintu, pada tiap lantai, terpampang instruksi yang menunjukkan bagaimana aturan main dan segala info bagi para calon pembeli.
Tulisan ini diilhami catatan teman saya Si Wie yang pernah menulis di Facebook-nya . Karena ada makna yang menarik di dalamnya, saya menggubah lelucon ini agar sedikit lebih seru.

Ini instruksinya:
- We sell husband for singles — Kami menjual calon suami.
- Anda hanya dapat mengunjungi toko ini SATU KALI saja! Di setiap lantai kriteria calon suami yang kami tawarkan berbeda-beda.
- Makin tinggi lantainya, kian tinggi pula nilai karakter lelaki, dan makin mahal harganya.
- Anda dapat memilih lelaki di lantai tertentu, atau dapat pula memilih calon yang ada di lantai berikutnya. Tetapi sekali Anda naik ke lantai yang lebih tinggi,
- Anda tidak bisa turun ke lantai sebelumnya, kecuali untuk keluar dari toko.
- Jangan melompat ke luar untuk bunuh diri, kecuali Anda merasa wanita paling jelek di dunia, dan putus asa, tak mungkin ada lelaki yang mau jadi suami Anda.
Walhasil, di antara pengunjung, tersebutlah seorang wanita cantik di awal 30-an tahun. Ia sudah merasa di ambang ‘kegawatan’ karena kawan-kawan seusianya sudah pada married.
Sesudah mendaftarkan diri dan memberi copy e-KTP-nya, sang gadis mulai masuk mengeksplorasi toko. Ia mencari-cari calon suami ideal untuk ‘soul-mate’ yang bisa menemaninya hingga akhir hayat.
Ini tulisan yg ada di lantai 1:
Lelaki di lantai ini memiliki pekerjaan yang tetap dan dia taat pada Tuhan.
Sang gadis tersenyum. Tapi ia tidak berkenan kriteria itu. “Belum cukup,” katanya dalam hati. Ia pun naik ke lantai dua.

Di lantai 2 terdapat tulisan seperti ini :
Lelaki di lantai ini memiliki pekerjaan tetap, taat pada Tuhan, dan senang pada anak-anak kecil.
Sang cewek masih belum ‘sreg’. Ia naik ke lantai selanjutnya.
Di lantai 3 terdapat tulisan seperti ini:
Lelaki di lantai ini memiliki pekerjaan, taat pada Tuhan, senang anak kecil dan berperawakan sangat gagah.
”Wah boleh juga nih…ganteng itu perlu,” katanya, “tapi… “. Ia masih penasaran, dan terus naik ke lantai empat.
Di lantai 4, ia dapati pengumuman ini:
Lelaki di lantai ini yang memiliki pekerjaan, taat pada Tuhan, senang anak kecil, berperawakan ganteng dan suka membantu pekerjaan rumah tangga.
‘Boleh juga nih…,” serunya dalam hati.Tetapi anehnya, ia merasa belum cukup. Wanita karir berwajah ayu dan bertubuh sexy itu tetap melanjutkan ke lantai 5.

Di lantai 5 itu ia dapati tulisan ini:
Lelaki di lantai lima ini punya pekerjaan tetap, taat pada Tuhan, senang anak kecil, cakep banget, suka membantu pekerjaan rumah dan sangat romantis.
“Hmmm… romantis juga nih.. Tapi, ah, mengapa tidak cari yang lebih istimewa?” bisiknya dalam hati. Ia pun tergoda naik ke lantai enam. “Apa yang kira-kira ada di situ ya?”
Papan pengumuman elektrik yang ada di situ tidak hanya menunjukkan tulisan ‘statis’ seperti lantai-lantai sebelumnya, tapi juga dilengkapi dengan mesin penghitung otomatis (counter) yang angkanya bergerak terus ke atas.
Ini yang dibaca sang wanita karir:
“Ini adalah lantai terakhir toko. Anda adalah pengunjung yang ke *31.081.959*. Tidak ada lelaki (calon suami) di lantai ini. Lantai ini hanya untuk membuktikan bahwa Anda adalah wanita ‘yang tidak pernah puas’. Terima kasih atas kunjungan Anda. Have a nice day…”
Tentu saja sang gadis bingung. Hidungnya yang mbangir itu kempas-kempis, matanya melotot tapi kosong. Pikirannya melayang. Ia linglung. Dengan gontai ia berjalan turun, keluar gedung.
Mendengar joke di atas, Kiwir nyeletuk: “Bagaimana kalau di lantai enam itu diisi suami-suami yang sudah beristeri saja? Jadi wanita yang tidak juga memilih yg di lantai lima, mau-tidak mau hanya bisa menjadi isteri kedua, ketiga atau ke-empat?”
Kiwir bercanda, tentu saja. Tetapi ia menyarankan Anda juga membaca:
woooooowww , aku lagi di lantai 7 niiiehh, lantainya cuman 6 yaa? kirain lantai 7 sudah disiapin penghulu nya juga hehhhheeeeeeeeeee
(maaf telat baca ) 🙂
Hehehe… 😀
Lantai 7 sedang mau dibangun, Mbak. Tapi entah kapan selesainya…
Celetukkan Mas Kiwir, saya setuju banget.
Hehehe.. 🙂 Mas Kiwir memang doyan becanda, Bung !
Saya jadi ingat pada kalimat “Don’t seek happiness in marriage. Bring happiness into marriage!” Kalau bisa begini, lantai manapun tidak masalah, sehingga tidak diperlukan ahli renovasi.
Btw, tulisan bahasa Sunda di atas artinya mirip dengan “Takut titik lalu tumpah.” Salam
Usul Kiwir boleh juga tuh, he3x (dasar Kiwir . . . .), Kalau kata orang Sunda : “Pipilih hayang nu leuwih, koceplak meunang nu pecak” Mudah-mudahan Bang Kiwir mengerti bahasa Sunda (Awas kalau tidak mengerti! Bukankah: Di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung)
Hehehe.. Ngerti dong, Teh (dikit-dikit tapinya).
Tapi, ada teman yang usul bahwa di lantai enam (6) itu mendingan dijaga oleh para ahli renovasi — tukang memperbaiki yang rusak dan menjadikan para shoppers itu menjadi ‘sadar’ diri kembali. 🙂