Mengapa Perlu Pos Baru?


Dunia marketing dan public relations (PR) kian bergerak cepat. Roda industri komunikasi itu seolah berlari dengan deret ukur, bukan lagi deret hitung.

Ini antara lain didorong tiga hal: makin tingginya tuntutan berbagai lapisan masyarakat –
khususnya di akar-rumput yang populasinya amat banyak — ramainya ‘perbincangan dua-arah’, dan tumbuhnya berbagai komunitas pengembang ‘merek’ (brand building communities) di banyak perusahaan.

Mau tidak mau, muncullah berbagai bidang pekerjaan baru, yang berkaitan dengan fungsi-fungsi dan tanggung jawab para professional yang bekerja di bidang komunikasi itu.

90 % yang 'tidak mungkin' dapat dijadikan 'mungkin' berkat waktu dan teknologi

Artikel ini dapat dilihat di media online “Inilah.Com”, Jumat 6 April 2012. Oleh Syafiq Basri Assegaff *)

Di sana sini perkembangan teknologi informasi ikut memberi peluang berbagai pekerjaan baru di dunia komunikasi itu. Akibatnya muncullah berbagai posisi baru yang lebih inovatif dan lebih membawa ‘gereget’ ketimbang nama-nama pos atau jabatan ‘konvensional’ seperti Direktur Marketing Communications (Markom), Manager Humas atau Supervisor Public Relations, Wakil Direktur (atau Vice President) Corporate Communications, Direktur Community Relations yang berhubungan dengan komunitas, dan yang sejenis itu.

Semua nama jabatan itu boleh jadi masih ada pada beberapa perusahaan, agen konsultan dan organisasi. Tetapi, fungsi dan tanggungjawab baru mendorong banyak perusahaan komunikasi lebih kreatif.

Penjaja kopi ternama ‘Starbucks’, misalnya, belakangan menambahkan posisi pekerjaan baru dengan nama ‘Director Global Partner Communications & Engagement’. Starbucks menyadari bahwa partnernya makin mengglobal, dan semua mitra di seluruh dunia itu harus diajak berkomunikasi secara lebih serius lewat kepemimpinan seorang direktur.

Sementara itu, perusahaan department store ‘Target’ melansir seorang ‘Manager Cyclical Communications’, karena tahu bahwa perlu ada petugas yang mengelola komunikasi 360 derajat antara perusahaan dengan audiensnya.

Perusahaan lain yang juga berinovasi adalah Netflix, Inc. Firma penjual jasa streaming Internet untuk menonton film dan acara TV itu sejak lama mengangkat seorang inovator ulung dalam akuisisi dan distribusi film Ted Sarandos sebagai Chief Content Officer (CCO).

Image representing Ted Sarandos as depicted in...
Ted Sarandos - Chief Content Officer Netflix

Netflix, yang di pasar saham Nasdaq dikenal dengan singkatan NFLX, mengklaim bahwa pihaknya merevolusi cara orang menonton acara TV dan film bioskop lewat internet di rumah 20 jutaan pelanggan mereka, di Amerika,Inggris dan Irlandia.

Di Indonesia fenomena itu mulai bermunculan, meski belum sepesat di Amerika. Motornya barangkali adalah perusahaan media. Perhatikanlah betapa belakangan ini pelbagai grup perusahaan suratkabar memasuki wilayah itu.

Kelompok Kompas Gramedia, misalnya, kini memperkuat cengkeraman bisnisnya lewat penyedia konten televisi di Kompas TV. Sementara kelompok usaha media yang lain, seperti
Tempo, Jawa Pos, dan Media Indonesia juga turut meramaikan suasana di ranah pertelevisian.

Banyak dari kelompok bisnis media itu menggenjot pasar mereka dengan menciptakan ‘kue-kue’ baru, misalnya melalui citizen journalism, sebuah wadah baru yang hanya mungkin terjadi
berkat kecanggihan Internet.

Semuanya jadi mengarah kepada konvergensi media. Demikian pula situs online yang Anda baca ini, Inilah.Com, telah merambah kepada “Inilah.Koran”, “Inilah.TV”, dan sebagainya.

Mau tidak mau, semuanya menuntut adanya pos-pos pekerjaan baru yang namanya disesuaikan dengan fungsinya.

Selain nama-nama pos di atas, pakar komunikasi juga menyarankan pelbagai nama jabatan lain yang bisa digunakan perusahaan, seperti ‘Social Media Manager’ (yang mengelola semua aplikasi media sosial seperti Facebook, Twitter, blog, Flicker), atau ‘Competitive Intelligence and Social Media Strategist’.

Perusahaan beken seperti Microsoft malah menciptakan posisi baru dengan sebutan ‘Web Evangelist’. Tentu saja itu nama yang unik, karena biasanya evangelist dipakai untuk menyebut
penginjil yang berdakwah mengajak orang menjadi pemeluk Kristen.

Tapi pemilihan nama itu oleh Microsoft tentu saja dimaksudkan untuk menunjukkan seorang yang ‘sangat antusias’ memberi tahu dan mengajak orang kepada suatu ‘produk –terkait-Web’ yang sangat bagus. Dengan kata lain, sang evangelist Microsoft itu pada hakikatnya mirip dengan
‘salesman’ zaman dulu.

Boss Microsoft Bill Gates bersama pelawak Jerry Seinfeld

Serupa dengan itu, perusahaan jasa Direct Marketing Global, Harte Hanks, menciptakan jabatan baru dengan nama ‘Online content & Communications Manager’. Sebagai salah satu operator dan distributor 13 jutaan eksemplar publikasi bagi para konsumen pertokoan (shoppers), jabatan manager baru itu penting bagi Harte Hanks, karena ia menambah jumlah audiensnya melalui fasilitas online di situs PennySaver miliknya.

Walhasil, semuanya menjadi sebuah transformasi. Semua memunculkan adanya pergeseran
paradigma dalam dunia komunikasi dan bisnis yang berkaitan dengannya, termasuk tatanan organisasi sumber daya manusia di dalamnya.

Ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya transformasi itu. Pertama, sebagian nama jabatan tenaga komunikasi dan PR itu bergeser karena adanya peralihan deskripsi fungsi yang umum (seperti communications, community relations, dan sebagainya) kepada posisi yang lebih bernuansa emotif seperti ‘inovasi’, dan ‘ahli strategis’ (strategist).

Kedua, nama posisi baru itu terjadi untuk menyambut munculnya komunitas baru pengguna internet dan mereka yang secara konsisten berkomunikasi secara dua-arah. Itu sebabnya muncul jabatan atau pos dengan nama baru yang melekatkan ‘keterlibatan’ (engagement), media social, dan komunikasi yang berputar (cyclical communications).

Ketiga, mereka berkaca pada ramainya perubahan sosial di berbagai belahan dunia, seperti ramainya tren untuk ‘cinta lingkungan’ (memunculkan pejabat seperti green marketing manager), ramainya dunia Internet atau web, dan sebagainya.

Masih berkaitan dengan Internet, kreatifitas sang manager atau direktur baru digagas demi menyukseskan sebuah ‘brand’ melalui fasilitas online, sehingga memunculkan jabatan baru seperti Chief Content Officer, dan sejenisnya.

Terakhir, sebagian nama jabatan baru itu merupakan upaya menyambut kecenderungan untuk
tampil dengan positioning baru secara global, atau dalam tatanan ‘raksasa’, sehingga perlu ada global partner manager umpamanya.

Nah, pertanyaannya kini, seberapa jauh organisasi Anda menyiapkan diri guna menyambut transformasi itu? Adakah gagasan untuk mewujudkan pos-pos baru yang lebih inovatif dan kreatif?

*) Konsultan Komunikasi, dosen di Program Pascasarjana Universitas Paramadina, dan London School of Public Relations, Jakarta. www.syafiqb.com   [mor]

Silakan Beri Komentar

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s