Alkisah, sesudah kedua putranya (Hasan dan Husain a.s.) sembuh dari sakit, putri Nabi saw, Siti Fatimah Al-Zahra a.s. membayar nadzar (kaul) berpuasa tiga hari berturut-turut.

Suami beliau, Ali bin Abithalib a.s. (Khalifah IV), dan cucu Nabi, Hasan dan Husain a.s. (yang digelari dua pemimpin pemuda surga) — pun ikut bergabung berpuasa bersama sang penghulu wanita surga yang digelari Al-Bathul itu.
Belajar Kebajikan dari Keluarga Nabi saw
Tulisan ini pernah dimuat dalam catatan Facebook saya, pada 16 September 2009 lalu. Berkenaan dengan hari ta’ziyah wafatnya Siti Fatimah as, dan memenuhi permintaan beberapa kawan, maka notes lama ini saya posting kembali di sini.
Pada hari pertama, persis saat berbuka puasa, seorang miskin mengetuk pintu rumah mereka di Madinah. “Tok..tok tok… Spada..,” kira-kira begitulah sapanya, andaikata kisah ini mengambil setting di Indonesia.
Si miskin itu meminta penganan. Diberikanlah seluruh kurma yang mereka punya kepada si miskin. Malam itu mereka tidak makan apa-apa. Menurut sebagian riwayat lain mereka cuma berbuka dengan minum air (karena mereka hanya punya sedikit kurma dan air…)
Hari kedua, tak lama sesudah maghrib, datang lagi seseorang mengetuk pintu. Siti Fatimah a.s. (di dalam tulisan bahasa Inggris di bawah ini disebut dengan Lady Fatema) membuka pintu rumahnya.
Ternyata seorang anak yatim. Sama: ia minta makanan. Ia pun memperoleh perlakuan serupa, dan petang itu keluarga Nabi saw akhirnya tidak menyantap apa pun (atau menurut riwayat lain, hanya berbuka dengan air). Ya, Hasan dan Husain pun — yang masih belia — turut berlapar-lapar…
Hutang puasa mereka tinggal satu. Hari ketiga itu, tepat ketika langit Madinah mulai gelap (dan benang putih tidak bisa dibedakan dari benang hitam), datang lagi seorang peminta. Kali ini seorang ‘tuna wisma’.
Masya Allah… Lagi-lagi keluarga suci Nabi saw itu melayaninya secara sempurna: memberikan seluruh makanan yang mereka miliki — yang memang hanya segitu-segitunya…

Walhasil, ini sungguh sebuah keteladanan luar biasa dari keluarga Nabi saw. Jawaban yang mereka berikan kepada ketiga orang yang datang itu (“we only feed you for Allah’s sake. We desire from you neither reward nor thanks…”) menunjukkan betapa mereka benar-benar manusia istimewa.
Extra ordinary people, mereka itu. Ali, Fatimah, Al-Hasan dan Al-Husain (‘alaihimus salaam) rela mengorbankan kebutuhan primer (bukan ‘keinginan’) mereka sendiri demi orang lain.
Sebuah rujukan akhlak yang tidak alang kepalang indahnya. Sehingga pantaslah kiranya bila kemudian peristiwa ini (menurut sebagian ahli tafsir al-Qur’an) menjadi sebab turunnya ayat Al-Qur’an (asbabun nuzul ) Surat Al-Insan (atau Ad-Dahr), ayat 5 s/d 12.
Konon, menurut riwayat ketiga ‘tamu’ itu adalah malaikat yang dikirim Allah SWT.
Tulisan serupa dalam bahasa Inggris ada di bagian lain blog ini: The Virtues of the Family of The Prophet (pbuh).
Baca juga:
Simak juga:
- Kisah kesyahidan putra Fatimah as, Sayyidina Husain (as) dalam pertunjukan musik tradisional Slamet Gundono di youtube.
siti fatimah masih hidup.
Maksudnya ‘ruh’ beliau masih hidup; benar.
“Jangan mengira bahwa mrka yg meninggal di jalan Allah itu mati; melainkan mereka hidup di sisi Allah dan mdpat rejeki. ”
Innallaaha wa malaaikatahuu yushalluuna ‘alaa nabiyyi. Yaa ayyuhalladziina aamanu shallu ‘alaihi wa sallimu tasliima – Allaahumma shali ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad