Persiapan pemilihan gubernur DKI Jakarta terasa sudah semakin ramai. Enam pasang calon gubernur dan wakil gubernur mulai menyingsingkan lengan baju, bersiap memperebutkan lebih dari tujuh juta suara di ibukota.
Oleh: Syafiq Basri Assegaff; Artikel asli dimuat di media online “Inilah.Com”, Jumat, 30 Maret 2012
Orang menunggu dengan was-was, siapakah yang bakal memenanginya kelak. Tetapi, lebih penting dari itu, apakah gubernur dan wakil gubernur terpilih nantinya dapat menyelesaikan persoalan pelik seperti kemacetan, banjir dan urusan sampah yang menggunung?

Bila tidak, tentu saja sembilan jutaan penduduk DKI akan kecewa. Dan kekecewaan itu pulalah yang selama ini telah menggelembung di hati puluhan juta rakyat Indonesia akibat korupsi oleh pimpinan pemerintahan dan politik, di tiga pilar lembaga negara: eksekutif, yudikatif dan legislatif.
Sesungguhnya, puas atau kecewanya publik berkaitan erat dengan ‘kualitas hubungan’ kedua pihak, ‘quality of relationship’, antara yang dipimpin dan yang memimpin; atau, dalam kasus pemerintah daerah tingkat satu, antara gubernur (dan wakilnya) dengan masyarakat di propinsi masing-masing.
Kualitas hubungan (relationship) itu biasanya diukur melalui tiga dimensi-hubungan yang didasarkan pada ‘hubungan antarpribadi’, yakni: kepercayaan (trust), komitmen, dan keseimbangan atau kontrol mutu hubungan itu. Ketiganya bertalian erat dengan kepuasan tadi.
Kita kelak akan tahu bagaimana gubernur dan wakilnya memelihara mutu hubungan dengan warga DKI. Kita lihat saja nanti. Pada masa-masa sekarang yang ada baru merupakan janji-janji manis dan lomba mengumbar jargon kampanye.
Bagi banyak orang di Jakarta, boleh jadi tidak seberapa penting siapa yang akan menjadi gubernur nantinya, asalkan mereka bisa membuktikan ‘unjuk kerja’ yang baik. Untuk itu, sesungguhnya salah satu langkah penting bagi setiap ‘performance’ yang baik adalah transparansi melalui komunikasi yang terbuka dengan publiknya.

Dengan kata lain, para pemipin, gubernur, dan bahkan semua pengambil-keputusan di pemerintahan mau pun di sektor swasta, mesti selalu siap menerima masukan, kritik, dan saran dari publik mereka.
Lebih-lebih pada zaman demokrasi dan revolusi informasi sekarang ini – ketika Internet, media sosial dan wikileaks telah menjadikan rahasia apa pun tak bisa lagi disembunyikan. Suka atau tidak suka setiap pemimpin harus berdiri di paling depan dalam menganjurkan dan mendukung keterbukaan serta menjunjung etika bagi semua anggota timnya.
Lalu, dari mana mulainya sebuah keterbukaan? Bisa saja itu diawali dengan ruang kerja yang transparan seperti Walikota New York Michael Bloomberg. Dia memilih bekerja di tengah staf dalam ruangan kantor yang tembus pandang, ketimbang duduk di ruang tertutup — sehingga masyarakat bisa melihat apa yang sedang dikerjakan Bloomberg dan stafnya.

Kabarnya, Bloomberg menyediakan 311 jalur telepon gratis bagi warganya, sehingga pada tahun 2010 lalu saja kantor walikota New York menerima sekitar 49 juta laporan masuk lewat sambungan hotline itu.
Kita bisa tanyakan hal serupa kepada para pemimpin daerah di Indonesia sekarang. Berapa juta laporan yang mereka terima selama memimpin daerahnya?
“Ah, jangan becanda,” kata kawan saya. Lebih baik ditanyakan, “Adakah sarana untuk menerima laporan dari warga itu disediakan gubernur, bupati dan walikota?”
Sesungguhnya sarana dan prasarana seperti yang dilakukan Bloomberg itu hanyalah ‘medium’ – yang pada akhirnya bertujuan menerima masukan, kritik dan saran. Dengan kata lain, itu adalah media ‘dialog’ antara pemerintah dan publiknya.
Tentu saja dialog itu harus dua arah, bukan sekedar ‘mendengar’ dari satu pihak dan kemudian mengacuhkannya. Para ahli komunikasi sangat menekankan pentingnya dialog antara pemimpin dengan publiknya, tetapi mereka tidak menganjurkan ‘advokasi’.
Sebagai sebuah filosofi, ‘dialog’ bermula pada zaman Yunani kuno, dengan argumen klasik para filosof seperti Aristoteles, Plato dan Socrates. Para pakar seperti Grunig dan Habermas berpendapat bahwa sejatinya ‘dialog’ merupakan sesuatu yang sangat etis, karena di situ ada diskusi ‘menerima dan mengambil’ (give and take) yang memberi kesempatan bagi setiap pihak menyumbang input (masukan).
Pada setiap diskusi, lazimnya berakhir pada sebuah kebenaran, atau pengungkapan dasar-dasar kebenaran yang tadinya tersembunyi, untuk kemudian bisa disetujui oleh semua pihak.
Dalam sebuah dialog, ide-ide akan dievaluasi pada kelebihan (keunggulan) yang ada, dan bukan berdasarkan posisi semata. Lewat evaluasi ide-ide yang diperbandingkan keunggulannya itu, sebuah kebenaran akan tercapai.
Para ahli tidak menganjurkan pemimpin melakukan ‘advokasi’. Sebab advokasi menggantungkan diri pada posisi, yang berarti hanya mementingkan ‘pihak pertama’ saja – yakni sang pemimpin, penguasa (atau ‘klien’ bagi perusahaan konsultan), ketimbang kepada pihak kedua (publik) atau semua pihak yang bersangkutan.
Posisi advokasi bisa sejalan atau tidak sejalan dengan kebenaran, dan ia bermula dari sebuah bias yang ada pada diskusi, sehingga akan gagal dalam uji etika.

Berbeda dengan advokasi, sebuah ‘dialog’ dapat juga berpotensi mencapai ‘kebenaran yang negatif’ alias tidak menguntungkan bagi ‘pihak pertama’ atau klien (perusahaan), semata-mata karena argumen-argumen keunggulan (nilai lebih). Dengan kata lain, sebuah dialog mengedepankan ‘kekuatan logika’, dan bukan logika kekuatan.
Bagi seorang gubernur atau pemimpin daerah lainnya, dialog dapat dilihat sebagai sebuah proses mencari pemahaman dan hubungan baik dengan publik yang tulus, dengan potensi untuk menyelesaikan berbagai dilema, juga karena di dalamnya akan muncul penciptaan kebenaran bagi semua pihak.
Memang dialog saja pasti tidak cukup. Seorang pemimpin harus punya berbagai attitude positif dan karakter unggul seperti kreatif, inovatif, desisif, dan pandai menyelesaikan masalah secara baik. Lalu ia juga mesti bisa dipercaya, amanah.

Tapi coba perhatikan satu persatu semua kriteria di atas. Tidakkah semuanya itu lebih mungkin terlaksana bila sang pemimpin memiliki cukup informasi yang akurat dari sebuah dialog?
Lewat dialog pula seorang pemimpin dapat meningkatkan kualitas hubungan dengan publiknya, sehingga ia dapat memetik kepercayaan (trust), meningkatkan keseimbangan mutu hubungan dengan publiknya, dan sekaligus membuktikan komitmen dan janji-janjinya saat kampanye.
*) Konsultan Komunikasi, dosen di Program Pascasarjana Universitas Paramadina, dan London School of Public Relations, Jakarta. www.syafiqb.com
Siapapun yang menjadi calon gubernur di kesempatan ini, ia dan wakilnya harus siap dengan segala masalah yang sudah (atau akan) dimiliki Jakarta. Bagi saya, sosok Jokowi yang bukan merupakan warga asli Jakarta tidak membuatnya harus merasa minder karena kenyataannya banyak pihak yang menganggapnya tidak mengenal kota ini seperti calon-calon yang lainnya. Ide-ide cemerlang dan bukti bahwa sosok Jokowi yang berhasil memimpin kota Solo dan dicintai banyak warganya menjadi point plus jika ia pantas dijadikan figur guberur yang akan datang. Saya jujur saja belum mengenal sosoknya dengan mendalam, tapi melihat hasil kerja kepemimpinannya dan profilenya yang dikenal hangat dan merakyat cukup membuat saya melirik, penasaran, dan berharap bahwa Jakarta bisa lebih baik di bawah kepemimpinannya. Pengalaman dari gubernur-gubernur yang sebelumnya sudah lebih dari cukup untuk dipelajari, namun dari situlah diharapkan saat kampanye tidak hanya berisi janji-janji manis saja. Saya percaya bahwa masih banyak orang yang berkompeten untuk menata kembali Jakarta yang semraut dengan segala problematikanya.
Terima kasih Enjelly,
Benar, kita berharap kepada Jokowi, atau siapa pun yang kelak akan memimpin Jakarta, dapat menjadikan ibukota lebih ramah dan manusiawi. Jangan sampai janji-janji kampanye hanya manis di depan tapi pahit di belakang, dan menguap begitu saja.
Tulisan “Gubernur Jakarta dan Dialog” ini sungguh mengingatkan saya dengan apa yang baru saja saya baca, yaitu sebuah tulisan mengenai “Truth and Transparency” dalam buku PR in Ethics yang ditulis oleh Karla K. Gower. Disitu ia juga menyebutkan pentingnya “trust” dalam membangun hubungan. Sebenarnya yang Jakarta butuhkan memang seorang pemimpin yang tidak hanya “jago ngomong” tetapi juga yang memiliki etika yang baik, dapat dipercaya dan sangat transparan terhadap rakyatnya. Dalam tulisannya, Gower mengatakan bahwa “Truthfulness must be combined with transparency. In ethical view point, being truthful means not lying”. Saya sangat setuju dengan pernyataan ini. Jika melihat siaran TV yang menayangkan debat antar calon gubernur DKI Jakarta sebelumnya, saya sangat kagum dengan sosok Jokowi ketika ditanya mengenai Jakarta. Ia tampak sangat santai, sederhana dan serba “apa adanya” ketika diuji pengetahuannya mengenai kota Jakarta. Kelihatannya, dia memang lebih “gaul” dibandingkan calon lain. Ini yang membuatnya sangat berkarisma. Namun, kita kembali lagi seperti yang Bapak Syafiq telah tulis diatas, bahwa “apakah gubernur dan wakil gubernur terpilih nantinya dapat menyelesaikan persoalan pelik seperti kemacetan, banjir dan urusan sampah yang menggunung?”. Saya rasa ini menjadi urusan lain. Sering kita melihat pemimpin dari sosok luarnya yang boleh jadi “menipu”. Sebagian calon gubernur tampaknya sukses mengambil hati masyarakat serta membangun kepercayaan dengan berbagai janji-janji yang entah benar terbukti atau tidak nantinya. Harapan saya, siapapun yang akan terpilih kelak, semoga tidak hanya bisa menjawab pertanyaan, melainkan juga bisa memberi solusi nyata dalam menyelesaikan berbagai persoalan di Jakarta. “Etika” mereka sebagai pemimpin yang nanti akan dapat menunjukkan sosok mereka yang sebenarnya.
Terima kasih Jeany. Anda benar, kepercayaan hanya bisa terwujud jika pihak pertama (sang gubernur dalam kasus kita) menunjukkan keterbukaan. Persis seperti Walikota New York yang ‘membuka’ semua hal kepada publiknya, sampai-sampai bahkan ruang kerjanya pun dibuat dengan dinding tembus pandang (transparant).
Saya paling suka bagian ini:
“Kualitas hubungan (relationship) itu biasanya diukur melalui tiga dimensi-hubungan yang didasarkan pada ‘hubungan antarpribadi’, yakni: kepercayaan (trust), komitmen, dan keseimbangan atau kontrol mutu hubungan itu. Ketiganya bertalian erat dengan kepuasan tadi.”
3K -> kepercayaan, komitmen dan keseimbangan/kontrol
Hahaha 🙂 Kemudian menjadi 4 K, kepuasan, ya Bu Mieke ?
Terima kasih.