Teroris dan Bom Syahid di Mata Habib


English: 11th Century North African Qur’an in ...
Al-Qur’an abad ke-11 dari Afrika Utara (di British Museum) – sumber: Wikipedia

Bom demi bom meledak di sana sini. Sesudah Solo, kemarin dulu bom meledak di Depok. Ada apa sebenarnya? Apa nasihat Habib?

Dari samping mihrabnya di masjid, Habib bicara tentang mati syahid. “Konsep syahid telah disalahpahami,” katanya. ”Mari kita luruskan.” Habib memulai khutbahnya dengan penyesalan atas terjadinya bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh Solo, Ahad lalu.

“Kita berdoa semoga pelakunya segera diseret ke muka hukum dan diganjar seberat-beratnya, tetapi tetap dengan menjunjung keadilan,” kata Habib. Ia melihat sejak awal tahun ini telah terjadi beberapa tindakan kekerasan yang amat merisaukan, tetapi seolah ada pembiaran.

Oleh: Syafiq Basri Assegaff. Artikel ini aslinya berjudul,“Bom Syahid di Mata Habib”, dimuat di: Kompas, Rabu 28 September 2011 – halaman 7. Sengaja dimuat ulang dengan sedikit revisi, berkaitan dengan peristiwa terorisme yang terjadi belakangan ini di Solo, Depok, dan lain-lain. (SBA, 11 September 2012).

Habib kemudian merujuk pada kekerasan di Pesantren Yapi Pasuruan, Jawa Timur; peristiwa Ahmadiyah di Cikeusik, Banten; dan kerusuhan di gereja Temanggung, Jawa Tengah.

Lalu, “Yang juga sangat kita sesalkan, dan mirip dengan kejadian di Solo, adalah terjadinya bom bunuh diri di masjid kompleks Markas Kepolisian Resor Kota Cirebon,” tambahnya sambil meluruskan serban.

Bali bombing memorial - Kuta
Bali bombing memorial – Kuta (Photo credit: antwerpenR)

Maka ia pun memperingatkan pemerintah, sebagai pihak yang memegang hak monopoli, agar benar-benar bersikap tegas dan berani. Habib menantang, “Pemerintah harus lebih berani, agar anarkisme tidak lagi dianggap wajar, sehingga kita seolah hidup di hutan tanpa aturan,” katanya.

Ia lalu mengutip peringatan khalifah keempat, Ali bin Abi Thalib, bahwa “Apabila sikap lemah lembut menyebabkan terjadinya kerusakan dan pembangkangan, maka sikap tegas adalah bentuk lain dari ’kelemahlembutan’ itu sendiri.’ “Maka kita harapkan Presiden SBY mengganti kata ‘lanjutkan!’ dengan kata perintah ‘hentikan!’” katanya.

Menurut Habib, sudah lama rakyat menanti pernyataan pemerintah dari ‘akan menindak’ menjadi ‘sudah ditindak’, bukan saja kepada si perusuh atau pelaku, melainkan juga terhadap aparat keamanan yang tak mampu mengamankan daerahnya.

“Kalau ini tidak berhasil mereka laksanakan dalam tempo singkat, Presiden mesti segera memecat mereka!” kata Habib. Tindakan tegas dan berani itu, dalam pandangannya, sekaligus akan bermanfaat bagi Presiden SBY dalam rangka memperbaiki citra beliau yang agak menurun belakangan ini. Itu dari sisi pemerintah.

Di sisi lain, menurut Habib, para pemimpin agama perlu makin bijak dalam strategi dakwah kepada pengikutnya masing-masing, dan jangan mudah percaya pada mereka yang mudah menjual agama. “Ingat, banyak bukti bahwa kekerasan di dunia dilakukan orang dengan mengatasnamakan bermacam-macam agama,” tambahnya.

Umat Islam solat di jalanan Paris: Islam itu memasukkan rasa bahagia pada orang lain (hablum-min-an-naas)

Islam agama sosial

Dari sudut pandang Islam, sudah saatnya para ulama bangkit menggelorakan dakwah yang penuh pemaafan (tasaamuh), akal sehat, dan berakhlak. “Tekankan kepada Muslimin bahwa, karena sumber perbedaan biasanya berkait dengan ayat Al Quran yang multitafsir, maka kita boleh saja berbeda pendapat — sepanjang tujuannya sama,” ujarnya lagi.

Kata Habib, Islam sebagai agama sosial lebih mementingkan hubungan sesama manusia (hablum min-an-naas) dan bukan sekedar mengurusi masalah ritual antara kita dengan Tuhan. Ulama juga harus mengajak umat merenungkan bahwa Tuhan memang tidak hendak menciptakan umat yang menganut agama tunggal. ”Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja, tetapi Allah hendak menguji kamu, maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan,” kata Habib mengutip Al Quran.

Habib duduk rehat sejenak. Ia membaca tahlil, tahmid, takbir dan istigfar. Ia lalu melanjutkan: banyak orang yang terlalu cepat menyimpulkan (jump into conclusion), lalu mencampuradukkan makna-makna dalam agama sebelum melakukan klarifikasi pada ahlinya. Akibatnya, mereka terpuruk pada kesesatan atau konflik dengan pihak lain, baik yang seagama maupun antar-agama.

Di antara contohnya adalah kekeliruan dalam memahami Islam sebagai seolah-olah agama yang mementingkan tampilan di permukaan (ekstrinsik) atau yang tersurat saja.

Foto Opini di Kompas itu.

Padahal Islam itu sempurna, kaaffaah, dan mesti dijalankan secara intrinsik pula. Tidak hanya yang tersurat, tekstual, tapi juga yang tersirat. “Ingat, iman tidak hanya ditunjukkan oleh khusyuknya solat, janggut panjang dan baju yang rapat menutup tubuh, tapi mereka juga harus menghindarkan diri dari perbuatan yang sia-sia seperti korupsi, berzina dan membunuh orang tidak berdosa,” katanya.

Demikian pula dengan makna mati syahid. Yang dimaksud syahid – sebagai sebaik-baik cara mati dalam Islam — itu adalah lewat sebuah perang yang adil, bukan membunuh yang tak berdosa, apalagi di dalam masjid atau gereja. “Itu justru tindakan pengecut atau munafik,” kata Habib.

Islam artinya ‘damai’: membawa kebebasan bagi penganutnya, dan rahmat dan berkah bagi alam semesta.

Dalam Al Quran, pembunuhan hanya boleh dalam perang; itu pun sebuah perang untuk mempertahankan diri jika diserang, atau untuk membela nilai-nilai yang mulia dan mereka yang lemah. “Al Qur’an mengatakan barang siapa membunuh seorang manusia tanpa alasan yang jelas dan legal, ia seakan-akan membunuh seluruh manusia di muka bumi ini. Dan sebaliknya, siapa saja yang menyelamatkan orang (dari kematian), ibaratnya ia menyelamatkan seluruh umat manusia ini,” katanya.

Habib lalu menunjuk pada tempat imam di masjid, yang disebut ’mihrab’ atau maudhiu harb. Kata itu berarti ’tempat perang’, karena di situlah sesungguhnya ’perang’ yang hakiki: apakah shalat kita bisa mencegah kemungkaran dan kejahatan (hawa nafsu) yang berkecamuk dalam jiwa.

“Itulah sebuah jihad besar,” kata Habib. “Maka saya ingatkan, dalam negara binneka seperti Indonesia, kita mesti hidup berdampingan secara damai dengan penuh keragaman.

Di sini kita memerlukan ‘syuhada’ dalam memberantas korupsi, memerangi kemiskinan, maksiat,dan ketidakadilan – bukan mati konyol di tempat ibadah.”

Syafiq Basri Assegaff: Dosen Program Pascasarjana, dan Peneliti di Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina.

Silakan Beri Komentar

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s