SBY, PSSI dan Kenikmatan


Sepak bola sungguh istimewa. Begitu pula di Indonesia. Tak kurang dari presiden menunjukkan kepeduliannya pada Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI).

Ini tampak nyata ketika Senin lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) angkat bicara perihal konflik berkepanjangan yang terjadi di tubuh PSSI.

SBY mengimbau agar PSSI jangan sibuk berantem, dan lebih mendengar suara rakyat. “Masak tidak ada habis-habisnya. Carikan solusinya dengan baik,” kata SBY.

Wajar kiranya bila SBY kesal pada kekisruhan yang tiada henti dalam dunia persepakbolaan kita, sehingga prestasi Indonesia di dunia demikian terpuruk. Puncaknya adalah saat tim Indonesia digilas Bahrain 10-0 dalam laga terakhir kualifikasi Piala Dunia, 29 Februari lalu.

Kekalahan dari negara Arab yang mungil itu lebih parah ketimbang kekalahan tim kita dari Arab Saudi pada era 80-an. Saat itu, Arab Saudi memecundangi Indonesia dengan 8-0, sehingga sempat muncul ejekan dalam bahasa Arab bahwa tim Indonesia bergelar ‘Abu Tsamaniya’ (sang pemilik angka delapan).

Sepak bola pada zaman batu (purbakala) - karikatur

Tentu saja itu membuat kuping kita merah, Sekarang lebih lagi: Indonesia jadi punya gelar “Abu ‘Ashrah” (sang pemilik angka sepuluh) – gara-gara digunduli Bahrain. Padahal Indonesia kaya sumber daya manusia, dengan penduduk 240-an juta, sedangkan kerajaan Bahrain hanya berpenduduk 1,2 juta jiwa.

Artikel asli dimuat dalam media online “Inilah.Com”, Kamis 8 Maret 2012.

Lebih parah lagi, Indonesia yang gemah ripah dan damai ini sama sekali tidak sebanding dengan Bahrain. Negeri bekas protektorat Inggris itu saat ini sedang kacau, karena rakyatnya menginginkan reformasi terhadap pemerintah tiranik yang dipimpin keluarga Al-Khalifa.

Bola dan Kenikmatan

Sepak bola seolah menjadi urusan seluruh bangsa di bumi. Ia juga menjadi perhatian utama media massa, dan telah menjadi budaya tersendiri di dunia. Tidak ada berita yang demikian menyita ruang dan waktu di berbagai media global sebanyak urusan persepakbolaan. Golf yang mahal, dan lomba balap Formula-1 pun tidak diberitakan sesemarak bola.

Dalam catatan sejarah, perhatian media terbesar muncul pertama kali saat pertandingan Final Piala Dunia antara Inggris dan Jerman pada 1966. Pertandingan itu menyedot penonton paling banyak selama sejarah siaran televisi BBC.

Arthur Raney (2009) mencatat bahwa, ‘selama sejarah televisi di Inggris, belum ada satu pun program TV BBC ditonton lebih banyak orang ketimbang pertandingan final (tahun 1966) itu.’

Belakangan, pertandingan sepak bola di dunia tidak saja menjadi hiburan bagi jutaan penonton di stadion, tetapi selalu menyihir miliaran penonton televisi, baik di negeri tempat berlangsungnya pertandingan maupun pemirsa di puluhan negara lain.

Sekarang ini, sangat boleh jadi orang lebih kenal nama-nama pemain sepak bola dunia ketimbang artis, ilmuwan, atau pemimpin berbagai negara.

Prestasi atau kemenangan tim para pesepakbola itulah yang melejitkan nama mereka. Sementara penggemarnya merasakan kenikmatan yang meningkat pada setiap kemenangan.

Meski menang atau kalah adalah soal biasa dalam pertandingan, tetapi sesungguhnya justru di kemenangan pada persaingan itulah kunci utama mengapa orang ingin menonton sebuah laga.

Perlu dicatat bahwa persaingan — dalam kacamata psikologi komunikasi — merupakan sesuatu yang erat kaitannya dengan konflik dan kompetisi, dua hal yang menjadikan pertandingan olahraga seperti sepak bola sebagai drama yang menegangkan.

Makin ketat sebuah kompetisi berarti makin tinggi konflik, dan semakin keras pula jalannya sebuah pertandingan. Lalu, kian keras ia kian dramatis pula jadinya. Nah, kenikmatan itu rupanya meningkat sejalan dengan seberapa dramatisnya pertandingan.

Tingginya konflik atau level dramatis sebuah laga sepakbola tentu hanya terjadi bila kedua tim yang bertanding memiliki kesetaraan keahlian atau ranking. Itu sebabnya kita lebih suka menonton pertandingan dua klub di klasemen yang sama, atau melihat para juara dunia Brazil melawan Italia ketimbang, misalnya, menonton Brazil melawan PSSI.

Jika kelak PSSI sudah naik peringkatnya hingga sejajar Inggris atau Argentina – entah kapan itu terjadi — umpamanya, kita bisa yakin bahwa kita tak akan melewatkan setiap laga yang diikuti PSSI. Bahkan kita bersedia membayar tiket 5-10 kali lebih mahal ketimbang karcis saat Indonesia dikalahkan Malaysia tempo hari.

Sebab, saat itu kita bukan hanya sedang membakar semangat nasionalisme, tetapi juga oleh tingginya ketegangan – suspense – yang akan kita rasakan saat pertandingan berlangsung. Karena di situlah drama yang dicari orang. Karena di situlah potensi kenikmatan (enjoyment) berada.

Kenikmatan itulah motivasi utama, yakni kesenangan yang diperoleh saat mengkonsumsi hiburan (entertainment) yang disajikan TV atau media lain. Di media televisi, enjoyment itu muncul sebagai respon utama kepada TV, melalui aktivasi neurotransmitters di area limbic otak penonton yang berkaitan dengan kesenangan (pleasure) dan ‘sakit’ atau ‘nyeri’ (pain).

Otak pemirsa menyimpulkan apakah ia akan merasakan pleasure atau pain, tergantung dari interaksi antara diri sang penonton, pesan yang diterima (dari tontonannya), dan variable-variable yang ada di sekitarnya (seperti teman sesama suporter, lokasi tempat menonton dan sebagainya).

"Dia sering menendang-nendang, tapi mungkin masih prematur..," kata ibu hamil kepada suaminya.

Berbagai teori mengenai entertainment dan sport dikemukakan para ahli komunikasi dan psikologi. Di antaranya adalah teori Affective Disposition Theory (ADT), yang mengkaitkan hubungan emosional antara penonton dengan atlit dan timnya.

Para ahli mengemukakan bahwa salah satu yang unik dalam soal ini adalah bahwa, enjoyment meningkat saat penonton makin cinta pada tim pemenang, atau makin benci pada yang kalah. Artinya, makin tinggi cinta penonton pada PSSI, misalnya, maka ketika ia menang, makin tinggi pula enjoyment yang diperoleh.

Sebaliknya, enjoyment makin menurun drastis ketika yang menang adalah tim yang paling dibenci, atau yang kalah merupakan tim yang paling dicintai. Itu sebabnya, saat PSSI kalah, maka kita merasa sangat sedih – berhubung kita (mestinya) paling cinta pada PSSI.

Begitulah pembaca, enjoyment, drama, dan ketegangan — semuanya adalah soal emosi, yakni yang sesungguhnya kita rasakan saat menonton sebuah laga di televisi atau pun di lapangan. Di situlah kemudian kita mengekspresikan perasaan yang ada, seolah pertandingan itu sebuah ‘kehidupan’ nyata (real life).

Maka tak heran bila Presiden SBY pun ikut mengekspresikan rasa pedulinya pada PSSI. Sebagai manusia yang juga punya rasa sedih dan gembira, SBY pun pasti menginginkan enjoyment dari sebuah laga sepak bola sebagai reality program yang sebenarnya.

Tetapi, alangkah indahnya bila enjoyment itu muncul berkat kemenangan tim milik kita sendiri, PSSI, dan bukan yang lainnya.

*) Konsultan dan dosen Komunikasi di Universitas Paramadina. Twitter: @sbasria. [mor]

Silakan Beri Komentar

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s