Surplus Koruptor, Minim Pemimpin


DAVOS/SWITZERLAND, 27JAN11 - Daniel Goleman, C...
Goleman

Pemimpin pemarah dan kasar akan menciptakan organisasi yang dipenuhi staf yang tidak produktif dan mengabaikan berbagai ‘kesempatan’ yang muncul, sedangkan pemimpin inspiratif dan inklusif akan merangsang tumbuhnya sikap penuh semangat dan anak buah yang gembira. Tapi, apa kita punya pemimpin begitu?

Oleh: Syafiq Basri Assegaff
Inilah.Com,  Kamis, 16 Februari 2012

Banyak orang gerah belakangan ini. Meski musim hujan, udara serasa panas karena kasus korupsi tiada hentinya mendera kehidupan politik bangsa. Kemudian kita merasakan krisis-krisis yang bermunculan itu sepertinya disebabkan komunikasi antara pimpinan dan anak-buah yang salah arah, atau malah berhenti sama sekali.

Tampaknya ada yang salah dalam komunikasi antara pimpinan-bawahan di banyak tempat. Tampaknya masih banyak orang yang memimpin secara arogan, penuh ketegangan, sehingga para bawahan menjadi tidak acuh dan kurang peduli pada unjuk kerja mereka.

Keramahan orang Indonesia yang terkenal itu rupanya absen pada banyak pemimpin – sebagaimana ia sering absen saat orang berkendaraan di jalan.

Boleh jadi itu karena berbagai masalah yang melanda para pimpinan dan organisasi mereka, yang pada gilirannya membuat suasana menjadi kelam, stressful dan menyesakkan dada.

Sumber masalah bisa saja datang dari sang anak buah, tapi bukan mustahil banyak persoalan juga muncul justru akibat kekurangan sang pemimpin sendiri, karena ia tidak memiliki kecakapan memimpin (leadership) yang baik.

Salah satu gaya kepemimpinan adalah yang dinamakan ‘primal leadership’. Menurut Daniel Goleman bersama kawan-kawannya (Harvard Business Review, 2001), pemimpin dengan ‘primal leadership’ bertugas memancing munculnya perasaan positif dan optimisme dalam diri bawahan mereka. Itu sekaligus membedakan pemimpin dan manager.

Itu sebabnya, Goleman (penulis teori ‘Emotional Intelligent’) dan rekan-rekannya menyebut ‘primal leadership’ sebagai pendorong tersembunyi para peraih prestasi besar (the hidden driver of great performance).

Cover of "Primal Leadership: Realizing th...
Primal Leadership -- manfaat humor bagi seorang pemimpin.

Pemimpin seperti itu, menurut Goleman, menciptakan virus positif, sebuah resonansi, tempat bermuaranya sifat-sifat positif yang kemudian mengalir ke bawah, menggerakkan orang lain untuk memunculkan upaya-upaya terbaiknya.

Melalui penelitian selama dua tahun, Goleman dan kawan-kawan menemukan, bahwa berbagai elemen yang menyebabkan prestasi cemerlang sesungguhnya amat tergantung kepada dua hal: ‘mood’ (perasaan) dan tindakan yang diakibatkannya (behavior) yang terjadi pada seorang pemimpin.

Kedua hal itu menciptakan rantai reaksi: ‘mood’ dan perlakuan (behavior) sang boss akan menentukan perasaan dan behavior setiap orang di bawahnya.

Seorang pemimpin pemarah dan kasar, misalnya, akan menyebabkan terciptanya organisasi yang dipenuhi staf yang tidak produktif dan mengabaikan berbagai ‘kesempatan’ yang muncul.

Sementara pemimpin yang inspiratif dan inklusif akan merangsang tumbuhnya sikap orang-orang penuh semangat yang akan menganggap setiap tantangan bisa dihadapi dengan gembira.

Alasan ilmiah untuk ini terdapat dalam otak manusia, yakni adanya area terbuka (open loop) di dalam sistem limbic otak, yang merupakan pusat emosi manusia.

The Brain Limbic System
Sistem Limbic di otak manusia -- menyebabkan species kita bertahan hidup.

Di otak itu, sistem terbuka (open loop) bekerja dengan cara bergantung kepada sumber-sumber dari luar (orang lain), yang kemudian akan memengaruhi otak kita. Sebaliknya, sistem tertutup (closed loop) di otak itu bersifat ‘mengatur dirinya sendiri’ (self-regulating).

Dengan kata lain, tanpa kita sadari sebenarnya kita juga bergantung pada orang lain untuk mengatur ‘mood’ kita. Itu sebabnya, para ahli menamakannya ‘interpersonal limbic regulations’, yang merupakan pengaturan limbic melalui hubungan antar-pribadi dengan orang lain.

Dalam pengaturan ini seseorang akan mengalirkan sinyal-sinyal yang mengatur tingkat hormon, fungsi kardiovaskular (jantung dan pembuluh darah), ritme tidur dan fungsi kekebalan tubuh orang lain.

Sebuah penelitian membuktikan bahwa tiga kejadian stress berat (perceraian, pemecatan atau kerugian finansial besar) dalam setahun akan meningkatkan tiga kali lipat angka kematian pada lelaki setengah baya yang hidup terasing (sendiri).

Sebaliknya, berbagai stress berat itu tidak berpengaruh pada angka kematian mereka yang punya hubungan baik dengan pasangan (isteri) mereka.

Itu sekaligus menjadi bukti bahwa penularan ‘mood’ adalah fenomena syaraf (neurological). Namun demikian, tidak semua emosi menyebar dengan kecepatan yang sama. Salah satu contohnya adalah keceriaan dalam tawa. Sebuah penelitian di Yale School of Management (1999) menunjukkan bahwa ‘keceriaan’ dan ‘hubungan hangat’ menular secara mudah dan cepat, sementara ‘kekesalan’ atau ‘depresi’ menyebar lebih lambat.

Kita bisa mengujinya sendiri. Cobalah, dan Anda akan melihat bahwa ‘tawa’ merupakan emosi yang paling cepat menular. Saat mendengar cerita lucu, misalnya, hampir mustahil orang lain tidak ikut tertawa,atau minimal tersenyum. Itu karena sebagian sirkuit yang ada di otak diciptakan untuk mendeteksi senyum dan tawa, menyebabkan kita bereaksi secara sama.

Para ahli menduga bahwa hal ini telah tertanam dalam otak manusia sejak berabad-abad lalu dalam upaya memperat hubungan manusia satu dengan yang lain.

Pada gilirannya, itu menjadikan manusia hidup bersama dan bekerjasama dengan kawan atau kelompoknya, sehingga menyebabkan species kita bertahan hidup.

Implikasi utama soal ini bagi para pemimpin yang menjalankan gaya ‘primal leadership’ dalam mengelola ‘mood’ dan perilakunya adalah, humor mempercepat menyebarnya iklim optimis.

Tapi sebagaimana ‘mood’ para pemimpin secara umum, humor mestilah ditebarkan ke dalam budaya organisasi sehari-hari. Selain itu, mesti diingat, senyum dan tawa itu hanya menular bila ia dilakukan secara tulus dan alami, bukan dibuat-buat.

Namun kita sayangkan, sekarang ini, kita di Indonesia seolah menghadapi virus negatif melulu, yang menular dari satu tokoh ke tokoh lain, dari seorang koruptor kepada ‘jamaah’ koruptor lainnya.

Oleh karena itu, barangkali kita perlu berkaca pada banyak orang. Di Indonesia ada sederet nama pemimpin berbagai organisasi, bahkan juga anak-anak muda, yang gemar menebarkan virus optimisme dan semangat juang.

Para pengajar dalam program Gerakan Indonesia Mengajar yang digagas Anies Baswedan salah satunya. Ratusan anak muda itu kini mengajar (sambil belajar) dan sekaligus menanamkan bibit optimism pada ribuan siswa SD di berbagai pelosok nusantara.

Di dunia, orang juga mengenal pemimpin sekelas Franklin Delano Roosevelt. Populer dengan singkatan FDR, presiden AS ke-32 (1933-1945) itu secara cemerlang berhasil memimpin Amerika dalam situasi krisis ekonomi dan perang dunia.

Sebagai seorang dengan ‘primal leadership’, Roosevelt membuktikan dirinya berhasil memimpin negeri adikuasa itu secara prima, meskipun saat itu AS sedang dilanda ‘malaise’ (krisis ekonomi yang berat).

Roosevelet (tengah) bersama Churchil (kiri) dan Stalin - di Yalta, 9 Feb 1945

FDR memang menggerakkan kembali ekonomi negara dengan beragam proyek infrastuktur padat karya. Tetapi lebih dari itu, FDR tahu bagaimana menyebarkan optimisme bagi rakyatnya – ia sama sekali tidak mengeluh, meski ia duduk di atas kursi roda karena lumpuh akibat penyakit polio yang dideritanya.

Ia menjadi motivator yang dikagumi. Ia sering berpidato di radio secara sangat bersemangat, sehingga membakar sekaligus menularkan energi positif ke seluruh negeri (Alfian, 2009). Akibatnya kelelah-lunglaian malaise bertukar dengan ‘api semangat yang membara’.

Berkat itu, FDR terus memperoleh dukungan rakyat dan mencatat sejarah sebagai presiden AS terlama, 14 tahun, dan menjadi satu-satunya presiden AS yang dipilih lebih dari dua kali.

Walhasil, kini kita haus akan pemimpin model FDR di Indonesia. Kita kekurangan pemimpin ideal. Kita surplus koruptor, tetapi minim pemimpin proaktif – bukan reaktif — yang punya ‘primal leadership’ itu. Akibatnya, sekali muncul seorang seperti Walikota Solo, Joko Widodo, kita jadi sangat senang – seolah menemukan oase di padang tandus.

*) Wartawan Freelance, Konsultan Komunikasi, dosen di Universitas Paramadina. Twitter: @sbasria. [mor]

3 thoughts on “Surplus Koruptor, Minim Pemimpin

  1. Wah sip artikelnya bos
    semoga selalu di update blog nya

    tulisan model begini perlu diperbanyak di negeri yang pemimpinnya tidak punya malu ini.
    pemberantasan korupsi yg setengah hati, dilindungi dan hukum serta pengadilan yang mbulet
    dan tidak ada juntrungnya.

    pengadilan di Indo hanya untuk wong cilik… maling2 cilik (curi piring, sandal, hp dll)
    sementara wong gede yang maling uang rakyat (tax payer) jutaan dolar K U H P sangat ampuh tapi bukan KUHP yang aku pelajari di sekolah melainkan K U H P (Kasi Uang Habis Perkara)

    1. Terima kasih banyak Pak Alex.
      Anda benar, pedang “Dewi Keadilan” di Indonesia hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Semoga hal itu akan segera berakhir dengan munculnya pemimpin-pemimpin muda yang berani dan jujur; memberi contoh dengan perbuatan, bukan dengan kata-kata.

  2. Terima kasih banyak kepada pak Syafiq yang telah menambah pengetahuan saya melalui artikel ini. saya juga setuju dengan argumen bapak. Menurut saya, seorang pemimpin yang bijak adalah sosok pemimpin yang mampu menjalin komunikasi internal yang baik dengan para karyawannya. Karena walau bagaimanapun tidak akan ada organisasi yang sukses dengan manajemen yang buruk dalam mengelola karyawannya. Lihat saja salah satu perusahaan yang terbilang sukses di Indonesia, hotel JW. Marriot. Salah satu faktor yang mempengaruhinya karena adanya hubungan internal yang baik dengan para karyawannya dengan menekankan karyawan sebagai aset perusahaan. Dan hal tersebut dishare kepada publik dengan menggunakan blog milik pemimpinnya sendiri yang tidak lain merupakan CEO dari perusahaan tersebut, Bill Marriot. Hal ini tentu patut ditiru oleh para perusahaan lain, karena tentunya akan menghasilkan dampak positif bagi suatu organisasi atau perusahaan. Sebaliknya, akan menjadi suatu masalah bahkan krisis bagi perusahaan yang tidak dapat menjalin komunikasi yang baik dengan karyawannya. Seperti halnya kasus Johnson and Johnson yang karena ada satu karyawan yang tidak puas dengan pelayanan perusahaan, ia nekad untuk memasukan racun ke dalam salah satu obat yang terkenal saat itu (Tylenol), yang dampaknya bukan saja akan menimbulkan kematian, juga merugikan perusahaan. Fakta-fakta di atas telah membuktikan betapa pentingnya komunikasi internal yang harus dijalin oleh perusahaan terhadap para karyawannya. Karena selain akan meningkatkan loyalitas pekerja terhadap perusahaan, juga akan turut mendukung kinerja perusahaan terutama saat terjadinya krisis. Dan saya juga setuju dengan apa yang dikatakan oleh Goleman, bahwa pemimpin pemarah dan kasar akan menciptakan organisasi yang dipenuhi staf yang tidak produktif dan mengabaikan berbagai ‘kesempatan’ yang muncul, sedangkan pemimpin inspiratif dan inklusif akan merangsang tumbuhnya sikap penuh semangat dan anak buah yang gembira. Jika hal tersebut dapat dipahami dan diterapkan oleh para pemimpin organisasi atau perusahaan, saya yakin akan banyak perusahaan -perusahaan sukses di Negeri ini.
    salam_ Julianti

Silakan Beri Komentar

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s