Mari bicara soal toilet anggota parlemen dan rakyat yang mereka wakili. Sebagai tempat ‘bersembunyi’ dari keramaian, orang suka diskriminatif menggunakan namanya.
Orang elit suka memakai istilah ‘toilet’, tapi bagi rakyat kecil mereka cukup memilih kata ‘jamban’ atau kakus. Padahal keduanya sama-sama Water Closet(WC), tempat orang melakukan defekasi alias buang air besar.

Sesungguhnya toilet itu sebuah tempat berkaca, melihat kesehatan orang. Bukan hanya kesehatan badan, tapi juga mental.
Artikel saya ini aslinya dapat diakses di ‘Inilah.Com” Jumat 13 Januari 2012.
Secara jasmani, tinja yang dibuang dalam jamban menggambarkan kesehatan seseorang. Bila sedang menderita kolera Eltor misalnya, maka faeces orang itu akan mirip air cucian beras, sedangkan tinja dengan darah dan lendir terdapat pada penderita disentri amoba.
Saluran cerna manusia memang diciptakan Tuhan secara sangat canggih. Ada tiga fungsi di situ. Pertama pergerakan makanan, termasuk mencampur dan gerak ‘memijat’ untuk mendorong makanan ke usus besar (colon) dan rectum yang ada di dekat anus.
Kedua adalah pencairan dan pencernaan. Di sini, berbagai organ memproduksi enzim dan hormon untuk membantu proses itu. Kelenjar empedu, misalnya, membantu penguraian lemak di usus, sementara insulin (dari pancreas) ikut memecah unsur gula.
Ketiga, makanan yang masuk ke dalam saluran cerna mengalami penyerapan (absorbsi), sehingga berbagai gizi, vitamin, mineral, serta air yang ada di dalamnya masuk ke dalam darah manusia.
Toilet juga menggambarkan kesehatan mental atau jiwa seseorang. Saat orang mengalami stress misalnya, maka jantungnya berdebar dan tiba-tiba menjadi mencret.
Sebaliknya pada penderita ‘encopresis’, biasanya penderita justru mengalami konstipasi (sembelit) akibat berbagai gangguan psikis atau kelainan fungsi syaraf.
Menurut Perkumpulan Dokter Keluarga Amerika, dua pertiga kunjungan ke dokter dipacu oleh gejala yang terkait dengan stress.
Sejalan dengan itu, psikolog Susan Bannerman, mengatakan bahwa, penyakit merupakan hasil refleksi persepsi negatif seseorang. Sehingga ia menyarankan agar orang mengubah benci, iri hati, dan was-was dengan sikap positif seperti cinta, berbagi (sharing), peduli, percaya diri dan kegembiraan.
Sekarang pun mungkin banyak yang stress gara-gara berita toilet di gedung DPR bernilai dua milyar itu. Oleh karena itu, kita sangat berharap agar sebelum membangun kakus mahal itu para anggota DPR selayaknya melihat ‘toilet’ rakyat yang memilih mereka di berbagai daerah.
Di banyak tempat di Indonesia rakyat belum banyak yang mengenal toilet modern. Para anggota DPR mestinya sadar, jangankan toilet duduk modern, bahkan jamban jongkok saja mereka tak mampu membelinya.
Coba tengok kondisi di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, misalnya. Baru pekan lalu bupatinya mendeklarasikan masyarakat di Desa Hargo Mulyo, Kecamatan Ngrambe terbebas dari kebiasaan buang air besar di sebarang tempat — demi mendukung tercapainya Ngawi sebagai Kabupaten Open Defecation Free tahun 2013.
Di depan warga dan sejumlah aparatnya, Ahad 8 Januari lalu Bupati Ngawi Budi Sulystio menandatangani prasasti bahwa Desa Hargo Mulyo telah ‘bebas buang air besar di sebarang tempat’.
Meski tampak sederhana, tapi itu sebuah pencapaian penting. Sebab, pada saat bersamaan warga desa itu juga mencanangkan daerahnya sebagai Desa Wisata, sebuah ‘icon’ dalam rangka Visit Ngawi 2012.
”Kami siap menuju bersih lingkungan,” kata Kepala Desa Hargo Mulyo, Sukarman, di depan sang bupati dan Ramadhan Pohan, salah satu anggota DPR dari Daerah Pemilihan (Dapil) Jawa Timur VII yang berkunjung ke sana pekan lalu.
Menurut Sukarman, desanya itu punya banyak potensi untuk dikembangkan. Di sana ada perkebunan manggis, durian dan rambutan yang subur dan menjanjikan. Juga ada Air Terjun Pengantin, yang diresmikan pada saat yang sama oleh Bupati Ngawi Budi Sulystio, Wakil Bupati Oni Anwar dan jajarannya– disaksikan beberapa anggota DPRD Ngawi dan Ramadhan Pohan.

Ramadhan sendiri menyatakan komitmennya untuk membantu keinginan masyarakat pemilihnya. Itu katanya sebagai perwujudan janjinya saat kampanye dulu. ”Kalau bukan karena Bapak-bapak dan Ibu-ibu di sini yang tempo hari memilih saya, tidak mungkin saya bisa duduk di DPR,” kata Ramadhan disambut riuhnya tepuk tangan hadirin.
Selain ke Ngawi, pada reses 5-8 Januari lalu itu, Ramadhan berkeliling ke Pacitan, Trenggalek, Ponorogo dan Magetan — kelimanya masuk dalam Dapil VII Jawa Timur. Sejauh ini, anggota Komisi II asal Partai Demokrat itu selalu berkunjung ke sana pada setiap masa reses yang berlangsung empat kali setahun.
Maka tidak heran bila masyarakat di berbagai kampung dan desa di lima kabupaten itu gembira menyambut mantan wartawan yang belakangan namanya sedang ‘naik daun’ itu.
“Selama dua belas tahun menjadi Sek-Des di sini, ya baru sekali ini saya ketemu orang DPR Pusat,” kata Agus Tri Sumantoko, Sekretaris Desa Kemiri, Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo. Desa Kemiri berpenduduk 4200-an jiwa, dan merupakan desa paling ujung di Ponorogo yang berbatasan dengan Madiun.
Sayang, tidak banyak anggota DPR yang juga ‘turun’ ke daerah saat reses. Selama empat hari perjalanan pekan lalu itu, beberapa tokoh masyarakat, Camat, Kepala Desa dan perangkat desa lainnya, mengakui bahwa maksimal hanya tiga (dari delapan) orang wakil mereka di DPR yang pernah terjun ke situ. Selain Ramadhan Pohan, beberapa dari mereka menyebut nama Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) dan Mardiana Indraswati, dari PAN.
Camat Bendungan, Kabupaten Trenggalek, Widarsono mengakui hal itu. “Sejauh yang saya tahu, selama setahun lebih menjadi camat di sini, baru Pak Ramahdhan saja yang telah beberapa kali datang,” katanya.
“Tempo hari Mas Ibas pernah juga mengirim utusan ke sini. Yang enam lagi saya belum pernah tahu,” tambah Widarsono.

Pada acara silaturahmi di Balai Desa Sumurup, Kecamatan Bendungan, 6 Januari lalu itu Ramadhan antara lain menyerahkan sejumlah bibit kakao kepada para petani. Ia juga berdialog dan mendiskusikan berbagai aspirasi warga – sebagaimana dilakukannya di empat kabupaten yang lain selama perjalanan.
Kembali ke soal toilet tadi, karena kedekatannya dengan masyarakat di lima kabupaten itu, Ramadhan tidak setuju dengan pembangunan jamban senilai dua milyar itu.
Tetapi, tentu saja bukan hanya Ramadhan yang kita harapkan, melainkan seluruh anggota DPR, agar mereka sering ‘turun’ ke tengah masyarakat, bukan sekedar melihat (atau mencoba) kakus rakyat di sana, melainkan juga untuk menyerap dan menindaklanjuti berbagai aspirasi masyarakat yang ada. Kacang janganlah lupa pada kulitnya.
*) Wartawan Freelance, Konsultan Komunikasi, dosen di Universitas Paramadina. @sbasria. [mor]
Sebuah paradox yang tidak dapat dipungkiri bagi anggota DPR yang kebanyakan mungkin “hidup makmur ditengah kemiskinan rakyatnya”. Sedikit sharing, pada tanggal 31 Mei 2012 lalu, saya membaca sebuah tulisan menarik dalam majalah “Lion Mag” edisi Mei 2012 ketika saya dalam perjalanan menaiki pesawat Lion Air. Tulisan itu dimuat oleh Jemy V. Confido (halaman 21,22 dan 24). Spontan saja, saya langsung tercengang membaca tulisan beliau yang berjudul “7 Paradox” (dalam kehidupan manusia). Beberapa diantaranya cukup sesuai untuk menggambarkan sistem pemerintahan Indonesia. Beberapa paradox tersebut adalah sebagai berikut: “Semakin meninggikan diri, semakin direndahkan”. Tentunya kemewahan toilet DPR demi “gengsi” para penguasa yang terbiasa dengan serba kenyamanan akan semakin memberikan pandangan negatif bagi rakyat miskin yang jauh dari hal tersebut. Paradox kedua, yaitu “semakin bertambah, semakin kekurangan”. Yah…namanya manusia, sudah punya gedung mewah, uang banyak, jabatan tinggi, tentu tuntutannya semakin besar… Punya gaji 1M, mau 2M, dan seterusnya. Kalau tuntutan ini tidak terpenuhi, korupsi menjadi salah satu alternatifnya. Mereka semakin tidak sadar dan lupa, padahal masih banyak orang di luar sana yang kondisi hidupnya jauh lebih buruk dan membutuhkan bantuan mereka. Paradox lainnya adalah “Semakin cepat memacu, semakin lambat mencapai”. Nah… ini dia “penyakitnya” sistem hukum dan pemerintahan kita. Seringkali “gegabah” dan maunya “cepat”. Seringkali “Uang” adalah jalan penyelesaian paling mudah dan instan bagi semua persoalan di negara kita ini. Seolah-olah semua bisa cepat asalkan disuguhi uang banyak. Tidak perlu panjang lebar menjelaskan, saya rasa setiap orang yang membaca paradoks ini, pasti mengerti apa yang saya maksudkan karena tak jarang sebagian besar dari kita telah menemui bukti tentang hal tersebut melalui pengalaman dalam kehidupan sehari-hari kita sebagai warga negara Indonesia.
Mungkin dgn toilet yg mewah membuat anggota DPR jadi betah berlama2 di toilet utk berkaca kesehatannya.
Terima kasih. Mungkin Anda benar, Bung Indartama. Banyak juga orang yang kadang suka tidur di toilet. Saya, misalnya…Hehehe 🙂
Sepintas tulisan ini tampak tidak ada konteksnya sama sekali dengan pembahasan Toilet DPR itu sendiri. Ada kesan lebih menyoal fungsi Toilet secara umum dan proses metabolisme tubuh dalam produksi tinja, dan selebihnya adalah soal kiprah politik Ramadhan Pohan sebagai anggota DPR. Namun jika kita jeli terkandung didalamnya ungkapan yang berbau satire yang sangat nyeleneh dan hanya Anggota DPR yang tidak sensitif saja yang tidak merasakannya, sesungguhnya ketajaman satere atau sindiran didalamnya lebih tajam dari sembilu dan harusnya cukuo tajam untuk menyayat hati wakil rakyat yang masih punya malu.
Terima kasih Mas Yudi,
Memang Anda sangat bijak, paham betul apa yang tersirat, bukan hanya yg tersurat. Benar Mas, semoga satire itu dipahami sementara anggota DPR yang lebih suka menumpuk-numpuk(menebalkan) kotoran diri dan jiwanya; padahal sebanyak apa pun hasil (korupsi)-nya toh cuma masuk ke toilet juga akhirnya.