Lagi-lagi Syiah Dibakar


Hanya delapan bulan sesudah tragedi pembakaran pesantren di Sampang, Madura, akhir Desember 2011 lalu, Ahad 26 Agustus lalu kerusuhan Sampang kembali meletus untuk kedua kalinya. Kali ini memakan korban meninggal, dan puluhan rumah hangus jadi abu. Karuan saja banyak orang marah. Tak kurang dari Presiden SBY sendiri minta aparat bertindak tegas dan adil.

Pada Desember lalu, Ketua Umum Muhammadiyah, Ketua MUI, Kontras, mahasiswa madura, hingga Ketua Umum PBNU, semuanya menyesalkan atau mengutuk aksi kekerasan itu. Syiah, kata banyak ulama, merupakan bagian dari Islam. Tragedi Sampang II ini tentu mengancam retaknya persatuan umat Islam, dan keutuhan Negara Kesatuan RI. Almarhum Gus Dur bilang, Syiah itu mazhab ke-5 dalam Islam — di samping empat mazhab Sunni.

Kiranya masih relevan bila kita simak kembali pendapat mengenai tragedi Sampang I itu, yang aslinya dimuat di rubrik Opini harian Kompas, Selasa 3 Januari 2012, halaman 7.

Menelisik Syiah

Syafiq Basri Assegaff

Memasuki tahun baru 2012, kekerasan atas nama agama meletus lagi.

Ratusan orang membakar pesantren, mushala, dan rumah warga di Kecamatan Omben, Sampang, Madura. Dosa mereka: karena pesantren yang dipimpin Ustaz Tajul Muluk itu mengajarkan Islam mazhab Syiah yang dianggap sesat.

Reaksi pun datang dari berbagai pihak. Ketua Muhammadiyah Din Syamsuddin dan Ketua Majelis Ulama Indonesia Umar Shihab menyusul menegaskan bahwa Syiah tidak sesat.

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Said Aqil Siroj mengingatkan ada desain besar di balik itu karena sejak dulu tak pernah ada perselisihan Sunni dan Syiah di Madura. Said Aqil menduga ada pihak yang ingin merusak suasana damai di Indonesia. ”Salah satunya lewat kasus pembakaran pesantren Syiah di Sampang,” katanya.

Dugaan yang logis. Sebab, Syiah Dua Belas Imam (Itsna’asyariyah) memiliki banyak kesamaan dengan mazhab Syafi’i, salah satu mazhab Ahlus-Sunnah (Sunni) yang menjadi panutan mayoritas nahdliyin di Indonesia. Kultur NU juga sangat mencintai Ahlul Bait (keluarga) Nabi Muhammad SAW dan keturunannya.

Peringatan haul, acara tahlil orang meninggal tiga hari, 40 hari, dan sebagainya—yang banyak dilakukan warga NU—sesungguhnya serupa dengan upacara-upacara Syiah. Nahdliyin juga pantang menikahkan anak atau berpesta pada hari Asyura, yang merupakan hari kesedihan memperingati syahidnya cucu Nabi, Al-Husain (Imam Syiah ketiga). Di kalangan NU juga sering dibacakan Salawat Dibba’i, di mana di dalamnya disebutkan nama-nama Imam Syiah dan keistimewaan Ahlul Bait.

Silsilah “Al-Muhajir” Ahmad bin Isa dan anak cucunya yang sebagiannya berdakwah ke berbagai tempat di Indonesia (File dari lembaga ‘Naqobatul Asyrof Al-Kubro’).

Banyak studi menunjukkan bahwa versi Islam yang pertama datang ke Indonesia sesungguhnya adalah Islam Syiah, sebagaimana dibuktikan hadirnya tradisi Syiah di Aceh. Menurut Syafiq Hasyim (mengutip Marcinkowski dalam Irasec’s Discussion Papers, 2011) muslimin di Indonesia berutang kepada para ulama dan pedagang Syiah yang membawa Islam ke Indonesia.

Dari pedang ke pena

Studi lain menyebutkan, pada sekitar 320 H, Ahmad bin Isa ”Al-Muhajir” bin Muhammad bin Ali bin Ja’far As-Shadiq—keturunan kesembilan dari Nabi SAW—hijrah dari Irak ke Hadramaut, Yaman bagian selatan. Pedagang kaya itu menghindari teror penguasa Bani Abbasiyah, saat keturunan Nabi SAW, yang notabene Syiah, dikejar-kejar kaki tangan khalifah di Irak (Walter Dostal dalam The Saints of Hadramawt, 2005).

Cucu Imam Syiah keenam (Ja’far As-Shadiq) itu kemudian mematahkan pedangnya. Sebagai gantinya, Al-Muhajir mengajak para pengikutnya memproklamasikan dakwah secara damai dengan pena. Di Hadramaut itu ia mengajarkan tarekat Al-Alawiy yang sufi. Sebagian sejarawan mengatakan ia bermazhab Syafi’i, tetapi ada pula yang menunjukkan bahwa sebenarnya ia Syiah, tetapi menutupinya demi keselamatan dari kejaran penguasa.

Pada sekitar tahun 1600-an, anak cucu Al-Muhajir—yang menyandang gelar sayid, syed, sharif, atau habib—melakukan diaspora ke sejumlah negara, termasuk Indonesia. Di berbagai belahan dunia itu, anak cucu Al-Muhajir selalu memilih dakwah secara damai dan anti-fundamentalisme. Para habib muda yang sekarang pun berdakwah secara damai meski kadang dikritik memacetkan jalanan Jakarta.

Kita tak tahu berapa juta umat Islam di Indonesia yang bermazhab Syiah. Yang kita tahu, dua pokok ajaran kelompok minoritas (sekitar 20 persen dari total umat Islam di dunia) ini adalah keharusan mengikuti Ahlul Bait (keluarga) Nabi SAW—mulai dari khalifah keempat Ali bin Abithalib hingga ke-11 anak cucunya—dan berdasarkan Al Quran dan hadis serta mengakui kepemimpinan Ali sebagai penerus Nabi SAW.

Catatan penulis: gambar di sini adalah copy dokumen dari Kantor Rektor Universitas Al-Azhar yang menyatakan bahwa Syaikh Al-Azhar saat itu, Mahmoud Syaltout, menyataan bahwa Syiah termasuk salah satu mazhab sah di antara mazhab-mazhab Islam yang ada.
Sejak lama para ulama, termasuk Syaikh Al-Azhar Mahmoud Syaltout menyatakan bahwa Syiah termasuk salah satu mazhab Islam yang sah.
Sejak lama para ulama, termasuk Syaikh Al-Azhar Mahmoud Syaltout menyatakan bahwa Syiah termasuk salah satu mazhab Islam yang sah.

Ali itulah salah seorang Ahlul Bait Nabi SAW yang utama. Anggota yang lain adalah putri Nabi (yang juga istri Ali), Siti Fatimah Az-Zahra, serta kedua anak mereka, Hasan dan Husain. Sebagai dalil naqli, Syiah merujuk beberapa ayat Al Quran; juga pada hadis Nabi SAW mengenai kata ”Ahlul Bait”’ dalam Surat Asyu’ara 23, yang menyatakan kewajiban mencintai keluarganya. Yang menarik adalah bahwa tidak kurang dari 45 ulama Sunni terdahulu juga meriwayatkan hadis itu, di antaranya Ahmad bin Hanbal, Al-Thabrani, Al-Hakim, Jalaluddin Al-Suyuti, dan Ibnu Katsir.

Itu sebabnya, kecintaan kepada Ahlul Bait Nabi SAW bukan hanya monopoli kaum Syiah, melainkan seluruh muslimin. Berderet nama ulama Sunni tersohor menegaskan hal ini. Imam Syafi’i, misalnya, secara gamblang menunjukkan kecintaannya kepada Ahlul Bait. ”Sekiranya mencintai keluarga Rasul itu Syiah, maka saksikanlah wahai seluruh jin dan manusia bahwa aku ini Syiah,” kata Syafi’i.

Peta Islam Sunni & Syiah di Dunia

Toleransi dan persatuan

Walhasil, kini kita bisa membayangkan: apabila Syiah yang secara kultural dekat dengan NU saja diserang, apatah lagi yang akan terjadi pada pengikut ajaran lain yang punya lebih banyak perbedaan? Selayaknya semua pihak menyadari bahwa berbagai mazhab dalam Islam sendiri baru muncul setelah masa tabi’in, sekitar abad kedua Hijriah. Di kalangan Sunni sendiri terdapat belasan mazhab, termasuk empat yang besar: Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali.

Melihat beragamnya mazhab itu, sejak lama banyak ulama Sunni dan Syiah menekankan perlunya persatuan ukhuwah Islamiyah. Pada era 2000-an upaya persatuan itu diperkuat dengan hadirnya lembaga Pendekatan Antar-Mazhab Dunia (Al-Majma’ al-Alamy lit-Taqrib baina al-Madzahib), yang banyak sidangnya juga dihadiri ulama-ulama dari Indonesia.

Maka, dalam konteks persatuan, tokoh Sunni, seperti Quraish Shihab, mengingatkan umat Islam tidak boleh main tuduh. Mengutip mantan Guru Besar Universitas Al-Azhar Syaikh Muhammad Abul Azhim az-Zarqany yang mengecam kesalahan kelompok yang saling memaki, Quraisy mengatakan, ”Jangan sampai menuduh seorang Muslim dengan kekufuran, bidah, atau hawa nafsu hanya disebabkan dia berbeda dengan kita dalam pandangan Islam yang bersifat teoritis…” (Shihab, 2007).

Memang orang Syiah, sebagaimana saudaranya yang Sunni, percaya pada hadis tentang pentingnya Al Quran dan Sunnah. Namun, berbeda dengan Sunni, mereka lebih kuat berpegang pada hadis lain (juga diriwayatkan banyak sumber Sunni) yang mengharuskan berpegang kepada Al Quran dan Ahlul Bait—yang mana keduanya tidak akan berpisah hingga akhir zaman sehingga tidak akan tersesat siapa pun yang berpegang pada keduanya.

Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa perbedaan itu hanya soal cabang agama (furu’), dan bukan masalah pokok ajaran Islam (ushuluddin). Tak aneh jika tokoh sekaliber Abdurrahman Wahidmengakui bahwa Syiah adalah mazhab kelima dalam Islam (Daniel Dhakidae, 2003).

Alm.KH Abdurrahman Wahid

Syafiq Basri Assegaff Penggagas Gerakan Anti-Radikalisme Islam (Garis); Peneliti di Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina.

Baca juga:

25 thoughts on “Lagi-lagi Syiah Dibakar

  1. Assalamu’alaikum wr.wb..
    Bangsa Eropa dengan segala perbedaan yang ada,sedangkan umat Islam belum bisa menyelesaikan perbedaan diantara mereka.Strategi apa yang efektif untuk bisa mematahkan sayap-sayap egoisme diantara mereka?

    1. Wa’alaikum salam wrwb.
      Antum benar, kita seharusnya bisa menemukan strategi agar umat Islam bersatu. Satu di antaranya dgn cara duduk bersama, saling tasamuh, dan bertukar pikiran dengan kepala dingin, sebagai sesama saudara. Mencari persamaan, bukan menegaskan perbedaan.

  2. Al-Habib Al-Imam ‘Abdullah Al-‘Aydarus berkata : “Dalam soal furu’ (cabang agama yang berhubung dengan fiqh) kita menganut Madzhab Imam Syafi’i dan dalam bidang ushul (ilmu yang berhubungan dengan Tauhid dan ketahanan/aqidah) kita menganut Madzhab Imam Abul Hasan Al-Asy’ari, sedang thariqat kita adalah tharigat ahli-ahli Tasawuf. Demikian pula dinyatakan oleh Al-Quthb Al-‘Aydarus dalam kitabnya Al-Juz Al-Latif.

  3. Al-Habib Al-Imam Al-Qutbh ‘Abdullah b. ‘Alwi Al-Haddad, berkata : “Hendaknyalah anda membentengi (imanmu), memperbaiki dan meluruskannya sesuai dengan jalan yang ditempuh oleh golongan yang selamat di Akhirat (Al-Firqah An-Najiah). Golongan ini terkenal di kalangan kaum muslimin dengan sebutan golongan “Ahlus Sunah Wal-Jamaah“.

    Mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan cara-cara yang dilakukan oleh Rasul Allah saw dan Sahabat-sahabatnya.

    Apabila anda perhatikan dengan fikiran yang sehat dan hati yang bersih nash-nash (teks-teks) Al Qur’an dan Sunnah yang berhubungan dengan keimanan, kemudian anda pelajari perilaku para Salaf baik Sahabat maupun Tabi’in maka anda akan tahu dan yakin bahwa kebenaran akan berada di fihak mereka yang terkenal dengan sebutan Al¬-Asy’ariyah, yang pengikut Abul Hasan Al-Asy’ari, yang telah menyusun kaidah-kaidah (keyakinan) golongan yang berada di pihak yang benar serta telah meneliti dalil ¬dalilnya. Itu pulalah aqidah yang telah disepakati oleh para Sahabat nabi serta generasi¬ generasi berikutnya dan para Tabi’in yang saleh dan itu pulalah agidah orang-orang yang mengikuti kebenaran di mana saja dan kapan saja. Aqidah dan keyakinan itu juga dianut oleh semua ulama Tasawuf, seperti diriwayatkan oleh Abul Qasim Al-Qusyairi dalam risalahnya.

  4. Sejak konferensi OKI tahun 2005 yg telah mengakui 8 mazhab islam, mk jgn ada lagi yang mengkhianati hasil keputusan tersebut. hanya orang2 yg doyan duit haramlah yg mau memecah belah Islam.

  5. Asslm.ww. Dari berbagai tulisan sy ingin mendapat penjelasan dari siapapapun berkenaan mazhab Al Muhajir (241-260H hidup sezaman Ahmad bin Hambal), kenapa memilih syafiiah (150-204 H), padahal bapak dan kakeknya (sebagai Imam Faqih mutlaq) “setara/sezaman” dgn Imam Syafii? dimana logika-nya? Bagaimana bisa Almuhajir tidak bermazhab bapaknya (Isa Arrumi-Ali Uraidhi dari sumber Ahlilbait Imam Jafar shodiq), tiba-tiba menjadi Syafii (notabene semua mazhab Hanafi-maliki-syaffi-hambali ilmunya bersumber dari jalur tabiin)? mohon pencerahan..

    1. Wa’alaikum salam wr wb.
      Saudaraku Muhibbin yang baik.

      Dari bacaan yang saya peroleh, pada zaman Imam al-Muhajir belum ada ‘mazhab’ Syi’ah seperti yang kita kenal sekarang. Yang ada, ya, Syi’ah Ali (pengikut Sayyidina Ali as, sebagai antitesa terhadap ‘Syi’ah Muawiyah’). Kemungkinan besar (jika tidak bisa dikatakan pasti) Imam Ahmad al-Muhajir (hidup abad 9 dan 10 M) menganut Syi’ah Ali, baik secara politis, dan juga dalam pandangan-pandangan umum. Kalau dalam hal ini, Haba’ib pun kiranya juga menganut Syi’ah Ali.

      Sedangkan jika mengikut rumusan teologis, fikih, dan sebagainya baru ada pada zaman Syaikh Shaduq dan Ibn Babawayh (lahir di masa akhir Imam Ahmad al-Muhajir, abad 10). Kemudian, menurut catatan, memang Imam Al-Muhajir secara sengaja mengadopsi Syafi’iyah, karena kecintaannya pada ahlul-bayt dan menghindar dari konflik berlarut-larut. Imam Syafi’i lahir pada abad ke-8, sehingga pembentukan mazhab Syafi’i terjadi sebelum masa Imam Ahmad Al-Muhajir.

      Selain Syaikh Shaduq dan Ibn Babwayh, masih ada beberapa lagi perumus mazhab Syi’ah, yang datang setelah Imam Ahmad Al-Muhajir, di antaranya adalah Syarif al-Murtadha (yang terkenal dengan gelarnya ‘Alam al-Huda), kakak Syarif al-Radhi, penyusun kitab ‘Nahj al-Balaghah’ – dan Syaikh Mufid, gurunya.

      Wallahu a’lam.

  6. Saudara islam perlu seperti anda; pemikiran yang luas, tidak asal menodong saudaranya sendiri. Kita ini islam, satu keluarga, Bapak kita Rosul . wasalam. salam kenal bib

  7. Asww, terima kasih atas tanggapan Bung Syafiq, tapi saya jangan dipanggil Ustadz lho, saya hanya orang awam biasa kok, mau belajar banyak dari Bung Syafiq. Alhasil point2 dari antum secara umum saya sependapat, yaitu untuk menghindarkan permusuhan antar muslimin. Soal sejarah madzhab yang tertua, itupun terserah pendapat kita masing2, boleh setuju, boleh juga tidak dengan pendapat kita, yang penting fastabiqul khairat. Afwan. Wassalam.

  8. saya seorang bahlol ( bisa anda lihat dari tata bahasa saya ) , saya ingin tanya apa logika saya salah ,andai saya mencuri , saya tidak akan cerita dengan anak saya kalo saya mencuri tapi andai saya sholat pasti saya akan cerita pada anak saya , semua inikan pembelajaran yang baik untuk anak saya

  9. TULISAN DIATAS (1) (Di berbagai belahan dunia itu, anak cucu Al-Muhajir selalu memilih dakwah secara damai dan anti-fundamentalisme) , berarti kalo tidak di ganggu / dihujat ,mereka juga tidak membalas bukan ? menurut saya kalo sunni tidak dikafirkan ( / panutannya = di antaranya isteri isteri dan sahabat/ khalifah ) maka tidak akan ada gesekan gesekan antara sunni dan syi’ah. (2) ( tetapi ada pula yang menunjukkan bahwa sebenarnya ia Syiah, tetapi menutupinya demi keselamatan dari kejaran penguasa.) kalo memang ia taqiyyah , masak hal itu berlangsung beratus ratus tahun ( beliau membiarkan hal itu terjadi )

    1. Sdr Mirza Ali yang saya hormati,

      Terima kasih atas komentar Anda. Saya setuju, dan sangat mendukung bahwa tidak boleh ada orang mengkafirkan Muslim lain, baik yang masih hidup apalagi yang sudah meninggal. Lebih-lebih kepada para sahabat utama Nabi saw, atau pun isteri beliau, para ummahatul mukminin. Sejatinya, syarat untuk masuk Islam itu mudah: orang cukup mengucapkan ‘dua kalimat syahadat’, maka sejak itu orang tersebut adalah ‘muslim’; dan harus dijaga nyawa, kehormatan dan hartanya.

      Bahkan lebih jauh dari itu, Islam mengajarkan bahwa orang yang lain agama pun mesti mendapatkan perlakukan yang baik, dihormati, dan diberikan hak asasi mereka (termasuk untuk hidup secara damai, berdampingan dengan umat Islam, dan diberi hak untuk beribadah mengikuti keyakinan mereka masing-masing).

      Saya pikir itulah inti ajaran Islam, yang rahmatan lil-‘alamien.

      Bicara soal persaudaraan Sunni-Syiah (atau pun NU-Muhammadiyah, dan lainnya) itu, perlu kiranya di sini saya ajak Anda membuka situs ‘Risalah Amman’ yang ditandatangani lebih dari 140 ulama (Sunni dan Syiah) dari lebih 40 negara di dunia berikut ini:

      – Untuk bahasa Indonesia: http://muslimunity.net/index.php?option=com_content&view=article&id=94:pernyataan-sikap-konferensi-islam-internasional&catid=38:artikel&Itemid=67
      – Untuk bahasa Arab (Risalah Amman): http://ammanmessage.com/index.php?lang=ar
      – Untuk bahasa Inggris: http://www.ammanmessage.com/

      Jelas di situ tertera bahwa seluruh ulama yang menandatangani naskah bersejarah ‘Risalah Amman’ (Amman Message) itu mengatakan bahwa: “Siapa saja yang mengikuti dan menganut salah satu dari empat mazhab Ahlus Sunnah (Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hanbali), dua mazhab Syiah (Ja’fari dan Zaydi), mazhab Ibadi dan mazhab Zhahiri adalah Muslim. Tidak diperbolehkan mengkafirkan salah seorang dari pengikut/penganut mazhab-mazhab yang disebut di atas. Darah, kehormatan dan harta benda salah seorang dari pengikut/penganut mazhab-mazhab yang disebut di atas tidak boleh dihalalkan. Lebih lanjut, tidak diperbolehkan mengkafirkan siapa saja yang mengikuti akidah Asy’ari atau siapa saja yang mengamalkan tasawuf (sufisme). Demikian pula, tidak diperbolehkan mengkafirkan siapa saja yang mengikuti pemikiran Salafi yang sejati. Sejalan dengan itu, tidak diperbolehkan mengkafirkan kelompok Muslim manapun yang percaya pada Allah, mengagungkan dan mensucikan-Nya, meyakini Rasulullah (saw) dan rukun-rukun iman, mengakui lima rukun Islam, serta tidak mengingkari ajaran-ajaran yang sudah pasti dan disepakati dalam agama Islam.”

      Demikkian, semoga diskusi kita ini membawa manfaat bagi kita semua.
      Sekali lagi terima kasih atas komentar Akhi Mirza Ali. Saya tunggu komentar-komentar berikutnya.

      Hormat saya,
      Syafiq Basri.

  10. Asww, artikel yang cukup menarik, namun ada beberapa hal yang ingin saya tanggapi, semoga bisa sharing ilmu, dintaranya adalah:
    1. Dikatakan diatas bahwa dalam shalawat / rawi “Diba’i” disebutkan juga nama Imam2 Syiah. Maaf, apakah yang anda maksud Imam2 Ahlul Bayt? Kalau begitu mereka Imam bagi kaum muslimin seluruhnya, baik Sunni maupun Syiah. Jadi kurang tepat jika dinamakan Imam2 Syiah.
    2. Dikatakan juga bahwa Imam Ahmad Al Muhajir adalah “notabene” syiah. Bagaimana bisa dikatakan seperti ini? Saya kurang sependapat. Beliau justru mengarahkan putranya, yaitu Imam UbaydiLlah bin Ahmad untuk belajar kepada tokoh Ahlu Sunnah dari kalangan Sufi Syaikh Abu Thalib Al Makki.
    3. Dikatakan bahwa Imam Ahmad Al Muhajir mematahkan pedang. Hal ini juga kurang tepat, karena beliaujustru berjihad mengangkat senjata untuk meluruskan pemahaman islam di wilayah hadhramawt saat itu. Adapun yang mematahkan pedang adalah keturunan beliau yang bernama Imam Muhammad bin Ali, yang bergelar Al Faqih Al Muqaddam. Beliau pula yang menyatakan bermadzhab Syafi’i, sehingga membuktikakan bahwa Madzhab Syafi’i adalah sesuai dengan madzhab leluhur beliau dari kalangan Imam Ahlul Bayt.
    4. Dikatakan Imam Ahmad Al Muhajir menutupi kesyiahannya, dan mengaku bermadzhab Syafi’i untuk selamat dari kejaran penguasa. Pernyataan ini jelas tidak tepat, karena beliau justru berjuang untuk menegakan agama Allah di wilayah tersebut.
    Saya harap saudara Syafiq Basri lebih meneliti kembali, jika ingin menuliskan tentang sejarah Aslafuna Shalih Alawiyin dari sumbernya yang benar, agar informasinya tepat. Adapun tentang Ukhuwwah Islamiyah, saya jelas sependapat dengan Anda. Mohon maaf jika ada kekurangan. Salam kenal. Wassalam.

    1. Ustadz Ahmad Nagib yang baik,
      Terima kasih atas komentar Antum. Mungkin Antum benar, yang mematahkan pedang itu adalah cucu Al-Muhajir, yakni Al-Faqih al-Muqaddam. Saya mendapatkannya dari beberapa sumber, yang mungkin saja keliru rujukannya. Tolong Antum berikan link rujukan yang benar ya Bib.
      Nevertheless, yang penting menurut pikiran saya adalah esensinya, bahwa tulisan di atas ingin menekankan bahwa dua hal penting:
      1. Sesungguhnya Islam itu satu saja; maka marilah bergandengan tangan, dan jika ada perbedaan pendapat ya dibicarakan saja, didiskusikan (seperti kita sekarang di blog ini) sebagai tanda kedewasaan, bukan main hantam, kafir-mengkafirkan, atau bahkan membakar rumah ibu (dan saudara)-nya sendiri. Masyi syaar!
      2. Bahwa NU itu secara kultural sangat dekat dengan habaib (keturunan Al-Muhajir) dan bukti-bukti sejarah menunjukkan bahwa NU dekat dengan Syiah, yang merupakan mazhab tertua di dunia dan yang ulamanya pertama kali menyebarkan Islam di Indonesia.
      Sekali lagi, syukran jazielan atas pencerahan Antum.
      Syafiq.

    1. Terima kasih Ayu. Tulisannya masih harus disempurnakan, karena tempo hari agak buru-buru menulisnya (mengejar tenggat dan momentum yang pas). Ayo dong nulis. Saya tahu Ayu punya bakat, tinggal diasah terus. Kuncinya hanya dua: 1. Membaca, membaca dan membaca. 2. Menulis, menulis dan menulis. Hehehe 🙂
      Ok, good luck ya.

  11. Tulisan yang menyejukkan. Semoga kita termasuk orang-orang yang selalu berusaha mencari pencerahan dan pada saat yang sama tidak mengecilkan – apalagi menyalahkan – orang lain. Hidup Islam yang toleran, inklusif dan berakhla mulia!

    1. Banyak terima kasih, Bu Mieke. Benar: Viva Islam yang toleran, di tengah, mencontoh akhlak Nabi dan inklusif — tidak galak, atau menyeramkan.
      Salam.

  12. Salam, tulisan mantab, gamblang, terang benderang
    Hidup Ukhuwah, kedepankan Ahlak, Barakallah fikum

    1. Terima kasih banyak, Bung Yon Haddar. Setuju: kedepankan Islam yang toleran, inklusif dan berakhlak. 🙂

      1. bravo saudaraku seandainya islam bisa seperti antum semua alangkah indahnya persaudaraan dalam islam itu.

      2. Terima kasih, Bung Hasan.
        Anda benar, semua orang Islam mesti menunjukkan toleransi tidak saja terhadap sesama Muslim, melainkan juga terhadap sesama manusia yang berbeda agama. Jangankan kepada manusia, para Imam yang suci (‘alaihimus-salaam – as) mengajarkan agar penganut Islam menunjukkan akhlak yang baik, bahkan terhadap hewan dan tumbuh-tumbuhan sekali pun.

Silakan Beri Komentar

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s