Tulisan asli dapat dibaca di Inilah.Com, 15 Desember 2011.
Ini adalah tentang komunikasi di tempat Anda bekerja. Tentang komunikasi internal. Boleh jadi Anda akan mengaitkannya dengan organisasi semacam PSSI, yang pelatihnya, Rahmad Darmawan, belum lama ini mengundurkan diri.
Kalau pun begitu, mungkin Anda tidak keliru. Sebab tampaknya komunikasi internal memang merupakan kunci penting keberhasilan setiap organisasi.
Dengan kata lain, sesungguhnya komunikasi di dalam lembaga, sekolah, perusahaan atau organisasi apa pun, adalah sedemikian penting bila manajemen ingin punya reputasi dan unjuk kerja (performance) yang tinggi.
Bahkan juga di perusahaan media, tempat yang lazimnya punya suasana amat demokratis, komunikasi antara wartawan dan pimpinan juga mesti dipupuk dengan baik.
Ini perlu digaris bawahi, sebab pengamatan sejauh ini menunjukkan adanya kekuatiran di kalangan wartawan sendiri bahwa komunikasi di kantor mereka masih perlu ditingkatkan. Itu yang pertama.
Kedua, berhubung kini perusahaan media tumbuh makin semarak, maka otomatis masalah komunikasi yang sehat di dalam perusahaan media juga makin harus diperhatikan. Jangan sampai orang-orang yang bekerja di lembaga yang menjadi salah satu pilar demokrasi itu terganggu atau lupa pada perlunya suasana komunikasi yang sehat dan terbuka.
Dalam berbagai pertemuan kuliah, saya mendengar sendiri keluhan beberapa mahasiswa. Sekitar separuh pekerja media yang mengambil mata kuliah komunikasi, umpamanya, beberapa kali mengemukakan “curahan hati” mereka,, mengenai manajemen atau pimpinan yang kurang peduli pada nasib karyawan mereka.
Malah ada yang bilang, ”Ketika kami sampaikan saran atau kritik, manajemennya menantang: kalau tidak puas, silakan keluar. Yang antre mau bekerja di sini masih panjang,” katanya.
Boleh jadi pimpinan yang arogan itu benar, bahwa banyak orang mengantre ingin direkrut sebagai karyawan di perusahaannya. Tapi, kesombongan model begitu tidak bertahan lama, karena yang mungkin terjadi adalah satu dari dua hal ini: pertama, karyawan yang bagus dan laku di pasar — cepat atau lambat — akan ‘hengkang’ dan pindah ke tempat pesaing.
Kedua, perusahaan akan menjadi sarang karyawan yang hanya pandai ‘mencari muka’ atau lihai menjilat atasan, tanpa berusaha meraih prestasi maksimal.
Pimpinan organisasi model begitu mungkin lupa bahwa sesungguhnya karyawan bukanlah sekadar beban, melainkan aset utama perusahaan. Bahkan di banyak perusahaan maju, karyawan mereka dianggap sebagai ‘partner’, dan kadang mendapat fasilitas pembagian saham perusahaan.
Namun memang komunikasi internal yang efektif memerlukan kerja keras. Lagi pula hasil berbagai penelitian menemukan di antara hal yang penting yang mendorong suksesnya usaha dalam organisasi sangat tergantung kepada prinsip-prinsip komunikasi yang sehat dan efektif di dalamnya.
Pertama, adalah saat berkomunikasi yang tepat. Salah satu dasar komunikasi internal yang berhasil guna adalah, bahwa pimpinan organisasi mesti menyediakan informasi yang tepat waktu (tidak terlambat) dan relevan, melalui saluran yang dipercaya pegawai, dan dalam bahasa yang mereka pahami.
Demikian pula isi pesan yang dikomunikasikannya. Isi komunikasi mestilah dalam konteks dan alasan-alasan (rasional) yang mengajak kepada perubahan atau inisiatif baru yang berkaitan dengan organisasi.
Lebih khusus lagi, hal itu hendaknya berkenaan dengan unjuk kerja (performance) dan kebutuhan-kebutuhan para pekerja di unit-unit kerja lokal. Peran supervisor di unit usaha juga harus berada di garis depan dalam melaksanakan komunikasi ini.
Kedua, adalah pemilihan saluran (kanal) komunikasi. Satu hal terpenting yang harus diingat pada era Internet ini adalah bahwa tatap-muka (face-to-face) tetap menjadi media paling kaya. Hal ini harus ditekankan dalam komunikasi internal, khususnya untuk menyelesaikan adanya konflik atau krisis, mengkomunikasikan perubahan besar dan merayakan keberhasilan (prestasi) bersama.
Meski kemajuan teknologi Internet bisa memberikan kenyamanan berkomunikasi yang cepat dan luas, tidak ada yang lebih indah dan bermakna ketimbang berbagi ‘sentuhan-sentuhan’ emosional antarpribadi pada pertemuan langsung.
Saat itu orang bisa saling berbagi cemberut, senyum, bahkan gelak tawa dan bahasa non-verbal lainnya dalam sebuah kebersamaam komunikasi yang hangat dalam tatap-muka.
Nah, dalam rangka memperlancar arus di dalam kanal komunikasi, pimpinan mesti meningkatkan kecapakan mendengar, sebab mendengar yang efektif akan mengurangi kesalahan dan kesalahpahaman. ‘Listening skill’ yang baik juga akan membantu mengungkapkan masalah (yang tadinya tersembunyi), menghemat waktu, meningkatkan evaluasi dan dapat memfasilitasi pembinaan hubungan baik.
Sekiranya organisasi hendak memanfaatkan media sosial (social media) , tentu saja itu hal yang lumrah sekarang ini. Karena media sosial merupakan kanal untuk menciptakan dialog (dialogue-creating channels) yang sangat cepat dan ‘powerful’, yang sekaligus dapat memberi kesempatan luas (empowerment) dan melibatkan karyawan dan anggota organisasi yang lain, termasuk ‘outsource’ seperti kontraktor sebuah proyek, dan sebagainya.
Media sosial memang telah menggeser media tradisional, tapi hendaknya jangan sampai menghapuskan yang tradisional seperti komunikasi tatap muka yang disinggung di atas.
Para komunikator mestilah meramu (menyatukan) antara media baru dan tradisional lewat cara-cara yang dapat membantu organisasi meraih tujuan-tujuan terbaiknya dan meningkatkan hubungan baik dengan publik di dalam atau pun di luar.
Faktor penting lain adalah peran kepemimpinan. Pimpinan harus selalu kelihatan dan nampak jelas sebagai kampiun utama dalam komunikasi internal. Ketertampakan (visibility) adalah yang pertama dan paling utama untuk komunikasi ‘non-verbal’ bagi semua pimpinan (unit) yang lain.
Pimpinan yang baik harus memiliki gaya yang mengundang keterbukaan, mengajak diskusi berkelanjutan (ongoing) dan transparan, sehingga semua orang bersedia buka suara untuk memberi pendapat dan saran.
Semua tindakan pimpinan dalam segala tingkatan haruslah sama dengan perkataan mereka. Kata orang Inggris, “walk the talks.” Ini berkait erat dengan kredibilitas dan agar menjangkau kepercayaan (trust), komitmen karyawan untuk mengikuti pimpinan mereka.
Elemen lain yang tidak kalah penting adalah partisipasi dan pengakuan. Mendukung partisipasi karyawan dalam keputusan bersama akan menciptakan loyalitas dan komitmen, dan memperbaiki iklim komunikasi secara menyeluruh. Pemimpin harus tahu bahwa pengambilan keputusan secara partisipatif juga sering memperbaiki kualitas keputusan yang diambil.
Dalam kaitan itu, pengakuan terhadap pencapaian (achievements) dan perayaan prestasi secara bersama-sama pada semua lini akan membantu terbentuknya nilai-nilai yang dirasakan bersama (shared values), dan identitas organisasi. Semuanya itu akan memberi kontribusi untuk merefleksikan budaya organisasi yang unik.
Terakhir, organisasi yang baik biasanya melakukan pengujian hasil (measurement). Ini kunci komunikasi yang sukses dalam lembaga mana pun.
Melalui format dan pendekatan yang beragam, measurement akan membantu menetapkan masalah-masalah (yang sebenarnya), melihat sejumlah kemajuan, mengakses nilai-nilai, dan menyediakan dasar faktual untuk penentuan tindakan selanjutnya.
Semuanya itu, apabila diramu secara baik akan memunculkan sebuah budaya komunikasi. Berbagai organisasi dunia yang maju membuktikan bahwa budaya komunikasi dua-arah yang berkelanjutan merupakan dasar untuk memotivasi pegawai dan suksesnya organisasi.
Komunikasi dua-arah, (atau dalam dunia Internet sekarang ini: ke segala arah) memberikan kesempatan diperolehnya masukan (feedback), yang sangat penting untuk pembelajaran dan memproses perubahan organisasi kepada perbaikan.
Jadi, mungkinkah mundurnya pelatih Rahmad Darmawan terjadi karena lemahnya komunikasi internal di PSSI? Wallahu a’lam.
*) Konsultan Komunikasi, dosen di Program Pascasarjana Universitas Paramadina, dan alumnus MA in Journalism, UTS (Australia). @sbasria.