Persepsi, Pencitraan dan Nama Baik


Syafiq Basri Assegaff

Artikel di Inilah.Com, 1 Oktober 2011

Ini adalah tentang persepsi. Saat musim hujan lalu, seorang kawan menceritakan pengalamannya. Sesudah hujan yang mengguyur ibukota selama beberapa pekan terakhir, dan banjir menghantui seluruh warga Jakarta saat itu, kawan saya membeli pewangi mobil. ”Biar mobil saya gak lembab dan bau lagi,” katanya.

Di perjalanan pulang ke rumah ia mampir membeli parfum khusus mobil yang memiliki tombol pengatur besar-kecilnya keluaran gas dari dalamnya.

Aroma segar segera terpancar begitu pewangi itu ditancapkan di lubang AC mobil. Ia pun merasa lebih nyaman mengemudikan mobil di jalanan Jakarta yang macetnya sudah kayak iklan Coca Cola (di mana saja, kapan saja, siapa saja…). Ia menikmati keriuhan jalanan itu dengan menyetel keping cakram (CD) musik yang mengalunkan You Raise me Up-nya Josh Groban.

Dua pekan berlalu. Semuanya berjalan normal. Di jalan, setiap hari, sambil mendengarkan lagu atau talkshow di radio, kawan tadi menghirup-hirup segarnya aroma pewangi mobil. Sesekali bila merasa kurang wangi, tombol pewangi digesernya ke ”maksimal” – dan ia mencium wangi yang lebih semerbak.

Suatu hari, saat mengantar putrinya ke sekolah, secara tidak sengaja pewangi itu tersenggol dan jatuh. Ketika hendak memasangnya kembali di tempatnya semula, kawan tadi terkejut… Ia terpana: ternyata selama ini botol pewangi yang dibelinya dua pekan lalu itu masih terkunci. Segelnya masih rapat. “Rupanya selama ini saya menghirup ilusi wangi,” katanya.

Tentu saja mereka yang mendengar atau membaca cerita itu bisa tertawa. Dan kita jadi bertanya, apa yang sebenarnya terjadi?

Rupanya yang terjadi adalah perubahan persepsi. Persepsi itu ada di benak manusia – sesuatu yang abstrak, tapi bisa kita rasakan. Bahkan bisa dianalisa dan disiasati. Praktisi Public Relations (PR) mengolah hubungan jangka panjang lewat berbagai program yang tujuan akhirnya adalah meningkatkan reputasi organisasi.

Makin bagus repu

English: I took photo in CO City, TX, with Can...
Reputasi memerlukan perjuangan panjang

tasi sebuah organisasi, maka publik (pasar atau konstituen) makin mudah dibujuk, dan tidak sensitif lagi terhadap harga tinggi atau ’pengorbanan’ yang harus dibayar. Para ahli marketing selalu pandai mengolah persepsi konsumen, dan berusaha meningkatkan ’nilai-nilai yang dipersepsi’ (perceived value) produk, jasa atau pun ide dan konsep yang ditawarkan atau dijual.

Para ahli komunikasi menegaskan bahwa persepsi kita sangat menentukan bagaimana kita melihat dunia, atau bagaimana orang menyikapi apa yang ada di hadapannya. Secara mikro, persepsi mengontrol pesan yang disampaikan oleh panca indera kita — di bawah sadar — ke pada ’sang komandan’ di kepala, alias otak.

Dari situlah muncul pikiran – sesuatu yang sering dikatakan’mind’ kita, tentang ’sesuatu’, atau sebuah ’nilai’ mengenai suatu keadaan, sebuah produk, seorang tokoh atau sebuah partai politik.

Sebuah ’brand’ — berbentuk produk, jasa atau ’nama’ seorang tokoh politik umpamanya — mesti dikelola agar ’pesan-pesan’ yang dikomunikasikannya bisa dipersepsi oleh publik (pasar atau khalayak) sebagai ’bagus’. Artinya nilai ’brand’ itu tinggi.

Untuk itu, tenaga PR atau Marketing Communication yang mengelolanya harus kreatif – selalu pandai meningkatkan nilai sebuah brand di mata khalayaknya, sehingga mereka mau membeli dengan harga mahal sekali pun.

Ini penting, karena pada kenyataannya, apa yang dipersepsi konsumen atau pasar lebih penting dari ’kenyataan’ yang ada. Karena berhasil mengubah persepsi khalayak, brand seperti Mercedes, Hewlett-Packard, dan Disney bisa sukses.

Sementara itu, tokoh politik dengan ’reputasi’ harum bisa menarik orang untuk memilihnya saat pemilu, sebab di dunia politik itu lazimnya keputusan publik sangat tergantung pada apa yang mereka persepsikan mengenai tokoh atau partai politik bersangkutan.

Tapi jangan kelirukan reputasi dengan pencitraan (image). Sebab pencitraan bersifat dangkal (superficial), atau kelihatan tidak murni (genuine) dan hanya berlangsung untuk jangka pendek di mata salah satu pemangkukepentingan (stakeholder) saja, sedangkan reputasi atau nama baik harus dibangun dalam jangka panjang.

Dalam pemasaran, juga di politik, reputasi adalah karakter yang bertahan (konsisten) dari sebuah organisasi atau tokoh, dan menjadi aset paling berharganya; sebuah gabungan kebiasaan (atau personality) yang dilihat oleh mata seluruh audience-nya.

Jika image merupakan apa yang ‘dikatakan’ sebuah produk atau seorang tokoh, maka reputasi muncul dari berbagai pengalaman pribadi dan ‘apa kata orang’ lain (word-of-mouth) mengenai brand itu, yang pada gilirannya akan mengkonfirmasi keunggulan brand tadi. Dengan kata lain, pencitraan bisa diolah dan disiasati (created), tapi reputasi haruslah diraih. Itu sebabnya reputasi harus dibuktikan melalui apa yang ‘dilakukan’ brand atau sang tokoh, dan memerlukan hubungan jangka panjang antara dirinya dengan berbagai khalayak luas.

Di antara organisasi yang kepemimpinan dan praktek bisnisnya sempat merusakkan reputasi brand-nya adalah Enron, Arthur Andersen, Tyco and WorldCom – sementara Johnson & Johnson, Philips, dan perusahaan yang inovatif seperti Cisco bertahan unggul di banyak negara di dunia.

Seorang tokoh, sebuah partai politik atau sebuah brand produk boleh saja sibuk dengan ‘pencitraan’, tapi ia tidak akan bertahan lama. Sementara, jika ia ingin memperoleh tujuan jangka panjangnya, yakni unggul dalam persaingan (dan laba tinggi dalam bisnis), ia mesti memupuk reputasi yang baik dalam periode yang panjang dan terus menerus – sehingga dapat melicinkan jalan baginya untuk memperoleh penerimaan dan pujian dari konstituen atau pasarnya.

Selain itu, reputasi tidaklah datang secara kebetulan. Ia berkait dengan kepemimpinan, manajemen dan cara organisasi itu beroperasi; kualitas produk, jasa atau kepribadian seorang tokoh; dan – yang sangat penting – hubungan baik dengan pemangkukepentingannya. Ia juga berhubungan dengan aktifitas komunikasi dan mekanisme feedback (saran, kritik) yang dijalankan organisasi lewat komunikasi dua arah. Artinya, pemilik brand itu ’peduli’, dan harus secara serius mau ’mendengar’ konsumennya (untuk produk) atau masyarakat pemilih (untuk tokoh dan parpol).

Bila itu tidak dilakukan, jangan salahkan bila konsumen atau masyarakat keliru mempersepsi Anda. Tidak peduli bahwa pada ’kenyataannya’ Anda adalah seorang yang baik, tapi bila Anda dipersepsi sebagai jelek oleh khalayak, maka itulah reputasi yang bakal Anda peroleh.

Karena reputasi tidak mudah dicapai, maka organisasi atau pun seorang tokoh harus konsisten dalam menyampaikan semua pesannya untuk memperkuat reputasinya; bukan hanya lewat bicara, tapi berbuat. Walk the talks, kata orang Inggris. Berikan bukti bukan janji.

*) Peneliti di Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina; dan alumnus MA in Journalism, UTS (Australia). [mor]

Silakan Beri Komentar

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s