Pentingnya Re-Tweet Teman


English: Twitter headquarters at 795 Folsom St...
Kantor Pusat Twitter di San Fransisco

Bersosialisasi di Media Baru

Syafiq Basri Assegaff.

Artikel di Inilah.Com,  Kamis 8 Desember 2011.

Makin hari makin banyak orang memanfaatkan media sosial. Sesudah Facebook yang populer sejak sekitar lima tahun lalu, belakangan ini Twitter mendominasi percakapan di media sosial.

Bahkan tokoh seperti Bill Gates memiliki 4,7 juta follower (teman yang mengikuti) di akun Twitter, sementara Dalai Lama punya 3 jutaan follower.

Di Indonesia, banyak tokoh juga punya akun Twitter, malah dengan ribuan follower. Pengguna Twitter di negeri kita saat ini diperkirakan mencapai 6 juta orang. Tapi kita tidak tahu berapa yang aktif, atau memanfaatkan jejaring sosial itu untuk berkomunikasi secara luas dan berkesinambungan.

Sejauh yang sempat termonitor, beberapa tokoh yang aktif, misalnya adalah, Tifatul Sembiring (dengan 290 ribuan follower), Anas Urbaningrum (92.851), Joko Widodo (65 ribuan) Denny Indrayana (51.703), Wanda Hamidah (43.649), FaisalBiem — Faisal Basri dan Biem Benyamin (42 ribuan), Indra Piliang (hampir 35 ribu), Didik Rachbini (17 ribu lebih), Teten Masduki (16 ribuan), Puan Maharani (hampir 10 ribu) dan Prabowo Subianto (9.400-an follower).

Adapun budayawan, wartawan dan akademisi yang aktif bersosialisasi lewat Twitter, antara lain adalah, Mira Lesmana (158 ribuan follower), Goenawan Mohamad (104 ribuan follower), Karni Ilyas (92 ribuan), Komaruddin Hidayat (hampir 66 ribu) Anies Baswedan (64 ribuan) dan Gus Mus alias Mustofa Bisri (hampir 54 ribu follower).

Selain mereka, ada juga pengusaha yang senang ‘berkicau’ semisal Sandiaga Uno (65.746 follower), Ir.Ciputra (50 ribuan) dan Anindya Bakrie dengan 42 ribuan follower.

Di samping aktivitas dalam berkomunikasi dengan audience-nya, rupanya popularitas seorang tokoh ikut menentukan jumlah follower. Itu sebabnya, artis, penyanyi dan musisi berhasil meraih lebih banyak follower. Contohnya adalah Olla Ramlan (lebih dari sejuta follower), Titi DJ (445 ribu), dan Adhie MS (93 ribuan follower).

Di antara kunci penambahan jumlah follower adalah karena para ‘tweeps’ (pengguna twitter) itu sering berdialog, saling membalas sapaan kawan lama dan baru.

Ringkasnya, mereka melakukan kegiatan ‘2-i’ yang penting dalam media sosial, yakni melakukan kegiatan ‘interaktif’ (saling bertukar pesan) dan ‘individualisasi’ (menyapa secara pribadi) pada audiens mereka.

Sebab, sesungguhnya dalam dunia jejaring sosial ini tidak ada gunanya punya follower ‘bejibun’ bila Anda tidak ‘saling bicara’ dengan mereka. Itu sebabnya tokoh muda seperti Raditya Dika bisa punya lebih dari 1,4 juta follower – karena ia getol berdialog dengan audience-nya secara kocak.

Selain itu untuk bertukar pesan dan informasi, media baru seperti Twitter, Facebook atau Youtube dapat menjadi ajang kampanye atau promosi yang baik.

Lihat misalnya yang dilakukan ‘Maicih’: keripik pedas asal Bandung yang dirintis pertengahan 2010 itu mengundang pembelinya lewat kicauan Twitter. Hingga Rabu 7 Desember 2011, ‘follower’-nya telah mencapai 39.641 orang.

Saking larisnya, kini Maicih sudah memiliki 80 ‘jenderal’ (distributor) hampir di 50 kota, dengan produksi sekitar 100 ribu bungkus per pekan.

Keriuhan jejaring sosial memang telah merambah ke segala penjuru pada segala waktu, baik ketika situasi aman dan tenang atau pun saat terjadi krisis. Kecepatan menyebarnya kabar via Internet sungguh dahsyat.

Ambil contoh Jembatan Tengarong yang ambruk pada 26 November lalu, misalnya. Dalam tempo singkat, orang seperti berebut menyiarkannya, bahkan sebelum wartawan suratkabar atau TV datang ke lokasi.

Maka, bila hari ini Anda masukkan kata kunci, “jembatan Tengarong ambruk” di mesin pencari ‘google’ umpamanya, Anda akan mendapatkan sedikitnya 868 ribu situas berita, blog, foto, video, dan ‘Youtube’ tentang jembatan di Kutai Kartanegara itu.

Di ‘Youtube’ saja, sejak robohnya jembatan itu, sudah lebih 50 video diunggah (uploaded) orang, dan beberapa di antaranya berhasil memperoleh lebih dari 83 ribu ‘views’.

Saat terjadi kebakaran besar hutan di California tahun 2007 lalu, misalnya, tidak kurang dari 76% (dari 307 responden yang mengikuti survey) mengatakan, bahwa mereka mengakses informasi dari berbagai portal dan situs Internet guna mendapatkan informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan tragedi itu.

Menyadari hal di atas, pantaslah bila organisasi media massa (konvensional) memanfaatkan benar keberadaan media baru ini. Media seperti TV-One, MetroTV dan Radio Elshinta, misalnya, terus menyebarkan kicauan di Twitter, yang maksudnya tentu saja menggiring followers untuk membuka tautan (link) yang disajikan, sehingga mereka membuka website media itu dan menonton acara yang ditayangkan.

Bukan hanya perusahaan, personil pimpinan media (baik ‘media lama’ atau pun ‘media baru’) pun aktif menjadi penikmat jejaring sosial. Contohnya adalah pemimpin TV-One Karni Ilyas, pemimpin Inilah.Com Muchlis Hasyim dan Budiono Darsono dari Detik.Com; mereka dan pimpinan media lainnya tampak sibuk ‘berkicau’ di akun Twitter setiap hari.

Bahwa situasi jejaring sosial telah mendorong munculnya bisnis atau kegiatan baru adalah tidak aneh. Tetapi, yang cukup mentakjubkan adalah bagaimana industri media konvensional itu kini demikian cepat memasuki dunia media baru itu.

“Kita melihat bahwa pengguna, audience, telah menjadi bagian integral evolusi sebuah cerita (atau sejarah) baru,” kata Amy Michell, Wakil Direktur pusat penelitian The Pew Research Center‘s Project for Excellence in Journalism.

Bagi reporter, perjalanan itu terasa demikian cepat. “Dulu, mayoritas wartawan berpikir bahwa tugas mereka hanyalah menulis sebuah berita atau cerita, dan tugas orang lain lah untuk menyebarkan atau mendistribusikannya, memasarkan dan mencari audience untuk berita itu,” kata Alan Murray, Direktur Eksekutif The Wall Street Journal, “Di dunia baru ini, sekarang wartawan punya tanggung jawab untuk seluruhnya.”

Akbatnya, pekerjaan wartawan kini berubah secara signifikan. Maka the Journal pun membuat terobosan baru. Ketimbang mengharuskan setiap orang untuk aktif di jejaring sosial (sebagai social networkers), kini suratkabar kenamaan itu mempekerjakan sukarelawan agar memakai Twitter untuk menelusuri ‘minat utama’ audience, misalnya, mana yang suka pada soal industri otomotif, siapa yang suka teknologi, dan sebagainya.

Cara itu memang terbukti bermanfaat untuk menggiring ribuan hits baru ke dalam situs perusahaan. Rupanya the Journal tahu bahwa follower Twitter biasanya merupakan pembaca yang antusias dan loyal terhadap reporter yang meliput berita-berita di bidang yang mereka sukai.

Demikian pula halnya dengan Facebook. Banyak halaman di Facebook menjadi sarana bagi organisasi media dan wartawan secara pribadi untuk menulis tautan (link) berita, dan merespon secara langsung pada komentar atau pertanyaan yang muncul.

Walhasil, perkara media sosial memang merupakan soal – antara lain — bagaimana Anda memengaruhiaudience, dan soal bagaimana Anda ditemukan oleh audience atau konsumen (findability).

Bila Anda bisa menjawab pertanyaan, ”mengapa (dan bagaimana caranya) di belantara Internet itu orang perlu menemukan Anda” – maka berarti Anda bisa menjaring lebih banyak orang untuk berinteraksi.

Sesudah itu, para pengguna yang sering membangun komunitas di jejaring itu mesti Anda bina dalam sebuah hubungan baik yang timbal-balik, dua-arah dan berkesinambungan – agar Anda bisa sukses sebagaimana Maicih berhasil menggaet pelanggannya.

*) Konsultan Komunikasi, dosen di Program Pascasarjana Universitas Paramadina, dan alumnus MA in Journalism, UTS (Australia). @sbasria.

Silakan Beri Komentar

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s