Shakilah


Syafiq Basri Assegaff

Mari bicara tentang ikhlas, tentang ketulusan niat. “Ikhlas itu adalah rahasia dari semua rahasia dan Aku menempatkannya di hati hamba yang menjadi kekasih-Ku,” demikian firman Allah SWT sebagaimana disabdakan Nabi Muhammad SAW. Berkaitan dengan hal itu, cucu Nabi Muhammad, Ja’far bin Muhammad Al-Shadiq, memberikan penjelasan bunyi surah 67 ayat 2. “Dia akan menguji siapa di antaramu yang paling baik amalnya.”

Menurut Al-Shadiq, yang dimaksud surah dan ayat tersebut bukanlah siapa yang paling ‘banyak’ amalnya, melainkan siapa yang paling bermutu (ahsan) dalam tindakannya. Ahsan merupakan kedekatan kepada Allah dan niat. Jelas, ahsan adalah kualitas, bukan kuantitas. Al-Shadiq lalu menambahkan, lebih sulit bertahan dalam keadaan selalu ikhlas dalam bertindak daripada melakukan tindakan itu sendiri. Keikhlasan bergantung apakah Anda menginginkan seseorang memuji atau hanya bertindak untuk Allah semata.

Begitu pentingnya niat, membuat beliau mengatakan, “Sesungguhnya niat itu lebih penting daripada tindakan itu sendiri.” Ia kemudian membaca ayat ini, “Katakan setiap amal itu bergantung kepada niatnya-shakilatihi (QS 17:84), dan menambahkan, “Shakilah itu artinya niat.” (Baca juga Q.S. 39:2). Kita rupanya harus berhati-hati sebab ada kalanya yang sudah beramal secara sempurna tanpa ria atau ujub pada awalnya, setelah beberapa waktu, terperosok sehingga amalnya dicemari ria.

Ayah Al-Shadiq, Muhammad Al-Bagir, mengatakan, “Bertahan dalam niat baik untuk sebuah amal lebih baik daripada amal itu sendiri.” Ketika ditanya, apa maksudnya bertahan dalam niat baik, beliau menjawab, “Seseorang melakukan amal baik kepada familinya atau memberi demi mencari rida Allah. Ia mendapat ganjaran yang dicatatkan baginya. Belakangan, ia menceritakan hal itu kepada orang lain maka apa yang sudah dicatat itu dihapuskan sehingga ia tidak lagi punya catatan ganjaran amal itu. Kemudian, ketika ia kembali menyebutkan soal amal itu lagi (untuk kedua kalinya), ia dicatat sebagai melakukan ria — sementara catatan amal baiknya malah sudah tidak ada sama sekali.”

Dengan demikian, ikhlas merupakan tahapan tertinggi cinta dan pengabdian kepada Allah. Menurut Abdullah Al-Ansawi, ikhlas berarti menggugurkan semua ketidakmurnian. Dan ketidakmurnian itu adalah keinginan menyenangkan diri sendiri atau orang (makhluk) lain. “Jika orang masih berada di habitat rasa suka diri, ia belumlah masuk golongan ‘yang menuju kepada Allah’ (musafir ilaa Allah) dan termasuk yang masih ingin langgeng di bumi (mukhalladun ilaa al-‘Ardh).”

Dan yang dikhawatirkan Nabi Muhammad dan para salihin adalah munculnya ‘syirk’ dalam ibadah pada berbagai tingkatannya. Jika seseorang melakukan suatu amal demi kepuasan diri sendiri, ia itu termasuk ujub. Kalau itu demi kepuasan orang lain, ia adalah ria. Di dalam pandangan orang-orang arif, hal ini dianggap telah membatalkan ibadah dan menjadikannya tidak diterima Tuhan.

Misalnya tahajud ‘demi’ memperbaiki kualitas hidup, atau memberi zakat ‘demi’ meningkatkan kekayaan. Meski semua ibadah itu sah (valid) dan orang yang melaksanakannya berarti telah melaksanakan kewajiban syariat, ia dianggap belum melakukan penyembahan kepada Allah secara ikhlas dan tidak pula memiliki kemurnian tujuan. Bagi para arif, semuanya itu merupakan ibadah yang sekadar untuk mencapai tujuan-tujuan yang ‘rendah’.

4 thoughts on “Shakilah

  1. Itu dia yang menyebabkan saya setuju pada pendapat, yang menyatakan bahwa, kita masuk surga bukanlah karena amal shalih kita layak untuk itu, melainkan karena rahman dan rahimnya Allah swt semata-mata. Mau dijumlahkan atau diusahan bagaimanapun, dengan amat mudah kita terjerembab ke dalam dosa/salah. Masalahnya, bagaimana agar rahman dan rahimNya meliputi/sampai kepada kita? Shalawat dulu yu – Allahumma shalli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad

    1. Allahumma solliy ‘alaa Muhammad wa aali Muhammad.

      Terima kasih banyak, Teh Mieke. Maaf saya belum sempat menanggapi komentar-komentar Anda semua,tapi gembira sekali jika ‘gayung bersambut’ datang dari seorang pandai dan bijak seperti Anda.

      Teh Mieke benar, siapa pun tak bisa mengandalkan amal salehnya sebagai ‘tiket’ ke surga. Orang sufi seperti Rabiah Al-Adawiyah, misalnya, memilih ‘cinta’ kepada Tuhan saja (sambil ‘menomor-duakan’ surga), sehingga ia berdoa, “Tuhan, jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga-Mu maka haramkan surga itu bagiku. Tetapi aku menyembah-Mu semata-mata hanya karena cintaku pada-Mu.. dan seterusnya.”

      Buat yang awam kiranya salah satu doa yang dianjurkan untuk sering dibaca ini sudah bisa mewakili pernyataan betapa lemahnya kita: “Ilahi, sesungguhnya maghfirah-Mu lebih aku andalkan ketimbang amal-amalku…Tuhan, bila aku tidak pantas memperoleh rahmat-Mu, maka sesungguhnya rahmat-Mu bisa mendatangiku, karena (aku tahu) rahmat-Mu itu meliputi segala sesuatu… Tuhanku, jika aku tidak layak menerima kasih sayang-Mu, Engkau sangat layak untuk mencurahkan kepadaku keluasan anugerah-Mu “ Kurang lebih begitu redaksi kutipan beberapa doa itu yang saya ketahui. Wallahu a’lam.

  2. Benar Mas Sis. Ikhlas juga mesti dipertahankan sepanjang hidup. Amal yang sekarang sudah di-ikhlaskan, bisa batal jika bulan depan atau tahun depan ‘disebut-sebut’ atau dibanggakan oleh pelakunya.

Silakan Beri Komentar

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s