Transparansi dan Kepercayaan Publik


Inilah.Com 19 November 2011
Syafiq Basri Assegaff

Alkisah seorang raja menyelenggarakan sayembara, mencari calon suami bagi putrinya. Raja memberi bibit tanaman kepada para pemuda peserta sayembara.

“Siapa yang setelah setahun membawa pohon tertinggi akan menjadi suami putri saya,” janji raja.

Setahun kemudian, para peserta sayembara datang membawa hasil ke istana. Mereka menunjukkan pohon-pohon yang tingginya sekitar satu meter.

Salah seorang pemuda peserta sayembara, katakanlah bernama Udin, sangsi apakah ia mesti membawa hasilnya ke keraton, sebab sesudah setahun, cikal yang ditanamnya hanya muncul menjadi pohon kerdil setinggi 10 cm.

Ia heran, padahal usahanya sudah maksimal. Ia takut mengunjungi keraton, karena khawatir ditertawakan peserta yang lain. Tapi ibunya mendesak agar Udin tetap maju menghadap raja dan menceritakan apa adanya. Tentu saja ia diejek banyak peserta lain. Tapi secara blak-blakan ia ceritakan apa yang telah dilakukannya. “Paduka Yang Mulia, bibit ini tidak mau tumbuh lebih dari 10 senti,” katanya.

Ternyata Udin justru terpilih sebagai pemenang. Raja mengungkapkan, bahwa sebenarnya bibit yang dibagikan kepada peserta sayembara hanyalah sebuah ujian belaka, untuk mencari tahu siapa yang jujur dan tidak.

”Bibit itu maksimal hanya bisa tumbuh 10 sentimeter,” kata raja.

Adapun mereka yang membawa hasil pohon tinggi-tinggi itu ternyata telah menipu Raja dengan menukar benih yang dibagikan raja dengan yang lain agar tumbuh lebih pesat.

Kisah di atas menunjukkan bahwa seorang calon pemimpin haruslah jujur dan berani. Sebab jujur saja ternyata tidak cukup. Udin membuktikan kalau ia hanya bertindak jujur tanpa berani menyatakan tindakan kejujurannya itu, maka ia tidak akan berhasil memenangkan sayembara, sekaligus membongkar kebohongan para peserta lain.

Ia membuktikan bahwa orang harus mengalahkan rasa takutnya, bukan saja untuk menunjukkan tindakan ”berani karena benar”, melainkan ”benar dan sekaligus berani”.

Memang lazim bahwa perasaan ’takut’ akan berjalan mesra bersama tindakan ’salah’, dan ’berani’ bergandengan tangan dengan ’kebenaran’, kejujuran dan kebaikan. Bukankah karena takut dipecat maka anak buah menjilat atasan atau ’menipu’ dengan laporan yang ABS?

Demikian pula, karena takut dapat rejeki maka orang mencari uang dengan menghalalkan segala cara, termasuk korupsi.

Dalam sejarah Islam, salah seorang yang patut menjadi idola kejujuran dan keberanian adalah Khalifah ke-4, Ali bin Abithalib a.s. Bahkan seorang filosof dan sejarawan Nasrani, George Jordac, pun memuji Ali sebagai pemimpin yang selalu blak-blakan. Jordac mengatakan, sebagai pemimpin saleh, Ali adalah penghulu keadilan, kejujuran, dan patriotisme.

Mengutip Nabi Muhammad saw, Ali menegaskan bahwa, pemimpin harus jujur (transparan), adil, berani dan ikhlas melakukan segalanya, tanpa pamrih untuk diri sendiri atau kelompoknya.

Namun kita melihat belakangan ini istilah transparansi, sebagaimana keberanian dan patriotism, menjadi terlalu dikultuskan bagai ‘dewa’, sehingga ia mudah dilupakan. Itu terjadi bahkan di pemerintahan sedemokratis AS. Di negeri itu para presidennya memperlakukan informasi peka secara berbeda-beda.

Presiden Ronald Reagan,misalnya, lebih suka menyimpan rahasia, sehingga maka pada 1985 saja ada sekitar 15 juta dokumen telah dimasukkan sebagai ‘rahasia’ (classified).

Sementara itu Bill Clinton lebih suka keterbukaan, sehingga hanya mempunyai 3,6 juta dokumen rahasia selama masa pemerintahannya. Pada masa George W.Bush ketertutupan muncul kembali: hampir segalanya rahasia, sehingga tidak kurang 20,6 juta dokumen digolongkan sebagai classified, sebuah angka yang hampir enam (6) kali masa Clinton.

Transparansi tampaknya kembali menonjol pada era Obama sekarang. Sejak hari pertama pelantikannya, Obama sudah mencanangkan komitmennya pada keterbukaan informasi.

Banyak ahli mengatakan, kebenaran yang ‘sulit’ diungkapkan lazimnya adalah ‘kebenaran yang tidak ingin didengar orang lain’. Sebab kebenaran seperti itu pahit, merugikan atau sangat menyakitkan – sehingga seringkali ditutupi secara sangat rapat.

Itulah yang disebut transparansi. Sehingga sekali ‘transparansi’ itu disampaikan, maka meski awalnya pahit bagai empedu, segalanya akan menjadi nyata, gamblang, dan melegakan. Pada zaman ini, kata ‘transparansi’ muncul dalam setiap cerita mengenai apapun, mulai dari corporate governance hingga aktivitas sistem peradilan. Tapi sayang banyak orang lebih suka bicara transparansi daripada mempraktekkannya.

Peran Pemimpin

Patut dicatat, peraturan saja tidak bisa menjadikan organisasi terbuka dan sehat, melainkan hanya karakter, sikap dan kemauan pimpinanlah yang dapat melakukannya. Memang perundang-undangan dan peraturan baru bisa membantu memulihkan kembali kepercayaan (trust), tapi semua tak ada gunanya bila budaya kolusi berkutat mengalahkan kejujuran.

Pada saat itu, sekeras apa pun peraturan yang ada, para ‘pemain sandiwara’ akan mencari celah dan peluang untuk menerobosnya. Dengan kata lain, keterbukaan terjadi hanya saat pemimpin memaksakan bahwa ia harus dijalankan.

Transparansi ke bawah (downwards transparency) itu penting untuk memberikan kesempatan bagi rakyat atau bawahan agar bisa memantau yang dilakukan para pimpinan – sebagai dasar good governance.

Bila kejujuran dan transparansi ingin disebarluaskan, para pemimpin mesti secara tegas membuktikan bahwa mereka memberikan penghargaan yang tinggi terhadap keduanya. Lihat misalnya yang dilakukan Michael Bloomberg. Wali Kota New York itu menyediakan 311 jalur telepon gratis bagi warganya, dan hingga tahun 2010 lalu, konon sekitar 49 juta laporan masuk lewat sambungan hotline itu.

Demi transparansi, Bloomberg memilih bekerja di tengah staf dalam ruangan kantor yang tembus pandang, sehingga masyarakat bisa melihat apa yang sedang dikerjakan sang wali kota dan stafnya.

Bloomberg rupanya paham bahwa sesungguhnya saat ini transparansi nyaris mustahil dihalangi. Siapa saja, di mana saja, dan kapan saja orang bisa menulis apa pun lewat blog dan situs media sosial lain. Ada yang membongkar kebohongan dan konspirasi secara anonim, ada pula yang menggunakan jalur semacam WikiLeaks.

Wikileak telah menjadi sebuah ’jurnalisme investigatif gaya baru’. Situs penyebar rahasia yang resmi berdiri pada 2007 itu, sekarang dianggap sebagai “jurnalis yang sebenarnya”. Antara lain berkat WikiLeaks-lah, berbagai revolusi di Timur Tengah dan Afrika belakangan ini jadi terus menggelinding. Publikasi WikiLeaks berhasil menggerakkan jutaan rakyat prodemokrasi di Tunisia, Mesir dan Bahrain.

Di Amerika, WikiLeaks hadir pada saat ketidakpercayaan masyarakat terhadap media massa tradisional (surat kabar,TV, dan radio) mencapai puncaknya. Sebuah jajak pendapat yang dilakukan Gallup pada September 2010 menunjukkan bahwa 57% rakyat Amerika tidak percaya kepada media tradisional.

Makin besarnya kekecewaan publik terhadap media di Amerika sesungguhnya bukan sesuatu yang baru, khususnya ketika dikaitkan dengan pertumbuhan Internet saat ini.

Sejak 1980, telah terjadi penurunan drastis angka pembaca surat kabar dan penonton berita di televisi. Yang paling kentara adalah anjloknya pembaca muda di Amerika dan mungkin juga di dunia. Sekitar 30 tahun lalu, 60% pemuda Amerika di bawah 36 tahun membaca surat kabar setiap hari, kini hanya 30%.

Tampaknya sekarang muncul sebuah kebutuhan baru agar Internet tetap menjadi wadah komunikasi yang bebas dan universal. Itu sebabnya, meski dimusuhi pemerintah AS, WikiLeaks tetap mendapat support para pendukung transparansi.

Alhasil, kini pintu demokrasi kian menganga: sebuah kekuatan untuk menyebar ulang berbagai informasi; pegawai pemerintah dan “peniup peluit” korporasi mendapat tenaga baru, dan transparansi yang lebih luas.

Oleh karena itu, setiap pemimpin swasta maupun pemerintah tak boleh surut menggalang transparansi di organisasinya, demi memperoleh kepercayaan publik. Kepercayaan (trust) itulah yang kemudian akan menentukan integritas para pemimpin dan reputasi sebuah masyarakat atau bangsa.

Bukan hanya dalam bidang pemerintahan, trust yang menjadi pangkal sebuah reputasi juga sangat penting artinya dalam dunia bisnis. Sebuah riset menemukan bahwa setiap satu titik peningkatan reputasi pada industri penerbangan, maka konsumen bersedia membayar $18 lebih tinggi harga tiket pesawat yang dibeli.

Konsultan Komunikasi, dosen di Program Pascasarjana Universitas Paramadina, dan alumnus MA in Journalism, UTS (Australia). [mor]

Silakan Beri Komentar

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s