Banyak yang memuji WikiLeaks, situs penyebar rahasia yang resmi berdiri pada 2007, sebagai “jurnalis yang sebenarnya”. Awal Maret lalu, situs lembaga jurnalisme independen Consortiumnews menurunkan artikel dengan judul “WikiLeaks Mempermalukan Media Gaya Lama”. Kevin Zeese, penulisnya, menempatkan Assange di garis depan gerakan mendemokrasikan jurnalisme dan membangun kekuatan rakyat. Sebagian lainnya malah menganggap yang dilakukan Assange sesungguhnya adalah semacam “jurnalisme investigatif”, sebuah kegiatan penyelidikan oleh wartawan untuk mengungkap rahasia sumber berita.
Di Amerika Serikat, jurnalisme investigatif pernah mencapai puncaknya pada 1970-an. Namun kualitas media kian lama kian menurun, sehingga media sering lebih berfungsi sebagai “agen berita semiresmi” pemerintah ketimbang watchdog independen bagi masyarakat. Menurut Zeese, banyak eksekutif media membela kepentingan orang kaya dan kuat dengan alasan menjaga “kepentingan nasional”. Perkembangan itulah yang belakangan memunculkan situs seperti WikiLeaks.
Menilik esai yang ditulis Assange -“Conspiracy as Governance“–rupanya ia dan kawan-kawan peretas komputer (hacker)-nya menggunakan strategi dalam melawan “kekuatan konspirasi”pemerintah yang otoriter, melalui transfer informasi dari dalam kelompok yang berkonspirasi ke luar — dengan kata lain,”pembocoran”. Panjangnya daftar kawat rahasia yang diungkapkannya dan tingginya kontroversi nilai berita (news value) yang dikandungnya menjadikan WikiLeaks banyak dikutip media terkenal di dunia.
Pada berbagai revolusi belakangan ini, WikiLeaks-lah yang mempublikasikan pelbagai kawat berisi informasi kritis dan penting. Publikasi WikiLeaks berhasil menggerakkan jutaan rakyat prodemokrasi di Mesir. WikiLeaks juga menunjukkan kepada rakyat Bahrain soal penjualan senjata Amerika ke negara itu senilai US$ 300 juta. Di Tunisia, menurut organisasi media publik terbesar Amerika, Public Broadcasting Service, sedikitnya 10 kawat diplomatik yang dipublikasikan WikiLeaks pada November 2010 ikut membantu penyebaran “Revolusi Melati” anti-Ben Ali. Akhir Maret lalu, WikiLeaks juga membocorkan kawat pada 2009 tentang kedekatan Menteri Luar Negeri Libya Mussa Kussa dengan Amerika.
Maka tak mengherankan bila Tom Malinowski dari majalah Foreign Policy mengatakan,”Hanya dengan sebuah cakupan pengungkapan kebenaran, WikiLeaks lebih berperan bagi penciptaan demokrasi di negara-negara Arab ketimbang beberapa dasawarsa dukungan diplomasi Amerika.”
Tidak percaya
Munculnya WikiLeaks seolah memberi jawaban kepada khalayak di dunia. Di Amerika sendiri,WikiLeaks hadir pada saat ketidakpercayaan masyarakat terhadap media massa tradisional (surat kabar,TV, dan radio) mencapai puncaknya. Sebuah jajak pendapat yang dilakukan Gallup pada September 2010 menunjukkan bahwa 57 persen rakyat Amerika tidak percaya kepada media tradisional, sedangkan riset Pew Poll menunjukkan rekor terendah: hanya 29 persen rakyat yang percaya kepada media.
Alasan yang menyebabkan ketidakpercayaan itu, di antaranya, beberapa tulisan di media ternama, seperti The New York Times dan Washington Post. Belum lama berselang keduanya–berdasarkan kawat rahasia yang dilansir WikiLeaks–menulis adanya klaim bahwa “peluru kendali jarak jauh Iran bisa mencapai kota-kota Eropa”. Sesungguhnya dalam dokumen itu terdapat juga laporan intelijen Rusia yang membantah klaim tersebut, tapi baik The Times maupun The Post secara sengaja tidak memuat bantahan sang intelijen.
Mau tak mau hal itu bisa dianggap seperti sebuah penyesatan kepada pembaca, karena pengungkapan kebenaran (truth) sejatinya adalah kunci pertama jurnalisme, dan kewajiban nomor wahid. Pasalnya, demokrasi sangatlah bergantung pada situasi ketika publik memperoleh fakta yang bisa diandalkan (reliable) dalam sebuah konteks yang berarti. Jurnalisme tidak mengejar kebenaran dalam nuansa absolut atau filosofis semata, tapi ia dapat–dan harus–mengejarnya dalam tataran praktis.
Apa yang dibongkar WikiLeaks memang belum tentu semuanya benar. Itu sebabnya, media mesti memprosesnya menjadi sebuah “kebenaran jurnalistik”, yang dimulai dengan kedisiplinan profesional merakit dan memverifikasi fakta. Dari situ semestinya surat kabar–seperti The Age dan The Sydney Morning Herald–berusaha menyampaikan makna fakta-fakta itu secara adil dan bisa diandalkan, valid untuk saat ini, tapi juga bisa menjadi bahan investigasi di masa mendatang.
Apa boleh buat, banyak redaksi media memang punya agenda tersendiri. Koran The New York Times, misalnya, mengakui bahwa mereka suka menunjukkan kawat bocoran yang diperoleh dari WikiLeaks kepada sumber di pemerintahan sebelum menuliskannya, dan menyingkirkan bagian-bagian yang oleh pemerintah dianggap bahaya atau mengancam “keamanan nasional”.
Makin besarnya kekecewaan publik terhadap media di Amerika sesungguhnya bukan sesuatu yang baru, khususnya ketika dikaitkan dengan pertumbuhan Internet saat ini. Sejak 1980, telah terjadi penurunan drastis angka pembaca surat kabar dan penonton berita di televisi.Yang paling kentara adalah anjloknya pembaca muda di Amerika dan mungkin juga di dunia. Sekitar 30 tahun lalu, 60 persen pemuda Amerika di bawah 36 tahun membaca surat kabar setiap hari, kini hanya 30 persen.
Walhasil, meski sebagian “media tradisional”boleh jadi terancam oleh WikiLeaks, nyatanya kini semakin banyak media yang mengakui pentingnya jurnalisme model baru itu. Situs Reporters Without Borders, misalnya, kini mengampu sebuah laman (website) bayangan WikiLeaks, sedangkan surat kabar utama Prancis, Liberation, mengumumkan laman bayangan WikiLeaks di situsnya.
Kebebasan informasi
Tampaknya sekarang muncul sebuah kebutuhan baru yang sebelumnya absen: agar Internet tetap menjadi wadah komunikasi yang bebas dan universal.”Kejahatan”WikiLeaks sebenarnya hanya karena ia mengungkap kebenaran di hadapan penguasa,”tulis The Guardian dalam editorialnya,”Apa yang dipertaruhkannya tidak lebih dari kebebasan di Internet.”
Mengikuti langkah WikiLeaks, stasiun TV Al-Jazeera, Januari lalu, telah menciptakan sebuah “unit transparansi”, dan sekaligus mempublikasikan The Palestine Papers, yang mengulas proses perdamaian Palestina-Israel berdasarkan bocoran berbagai kawat. Sementara itu, harian The New York Times sendiri sekarang mengangkat wacana untuk membuat semacam WikiLeaks versinya sendiri.
Dukungan juga mengalir dari dunia akademis. Para mahasiswa jurnalisme di City University of New York belum lama ini membangun sebuah LocaLeaks yang memberi ruangan bagi pengguna untuk membocorkan informasi kepada 1.400 koran di Amerika secara anonim.”Kita di dalam jurnalisme mesti mengakui WikiLeaks sebagai elemen baru ekosistem berita,”kata Jeff Jarviz dari sekolah jurnalisme City University of New York. Menurut Jarviz, kita mesti mempertahankan hak WikiLeaks sebagai media.
Senada dengan Jarviz, Jay Rosen dari sekolah jurnalisme New York University mengungkapkan bahwa tindakan “kantor berita tanpa negara”yang pertama di dunia itu menunjukkan betapa statisnya organisasi media di Amerika. Maka, ketika para pembocor kawat memilih WikiLeaks ketimbang media tradisional, hal itu membuktikan ketidakpercayaan masyarakat terhadap media korporasi.”Kenyataannya,”kata Rosen,”media sebagai watchdog sudah mati, dan WikiLeaks mengisi kekosongan yang ada.”
Alhasil, kini pintu demokrasi di jurnalisme kian menganga: sebuah kekuatan untuk menyebar ulang berbagai informasi; pegawai pemerintah dan “peniup peluit” korporasi mendapat kekuatan baru, dan transparansi yang lebih luas. Dengan atau tanpa WikiLeaks, teknologi yang ada memberi peluang kepada para peniup peluit membocorkan dokumen secara rahasia (anonim). Dengan atau tanpa WikiLeaks, banyak orang dan idealis akan terus mencari jalan pembocoran secara anonim dan menjadikan informasi itu tersedia bagi publik.”Memenjarakan Thomas Edison pada 1890 tidak akan membuat malam menjadi gelap,”tulis majalah kenamaan The Economist.