Inilah.Com – Jumat, 4 November 2011
Oleh: Syafiq Basri Assegaff
Kali ini kita bicara tentang haji dan kurban. Salah satu di antara makna haji adalah bahwa ibadah itu membawa pesan pengorbanan dan cinta kepada sesama manusia, yang merupakan ‘muamalah’, hubungan kita dengan sesama makhluk Tuhan yang lain.
Satu contoh adalah saat menyembelih hewan kurban. Sebagai napak tilas Nabi Ibrahim, jelas bicara haji adalah bicara tentang keteladanan beliau yang secara ikhlas mengorbankan Ismail, putra yang menjadi buah hati, harapan, masa depan dan penerus keturunannya . Memang itu penyerahan total yang luar biasa berat, tapi dilaksanakannya demi keyakinan kepada Sang Pemilik Sejati, Tuhan Yang Maha Agung.
Ibrahim yang sudah sepuh dan sendirian, sesudah berjuang keras melaksanakan misi kenabian selama 100-an tahun, ditantang Tuhan, apakah ia mantap ‘menyerahkan’ milik yang paling dicintainya itu kepada Tuhan? Sehingga ia bisa menjadi contoh bagi semua pengikut agama tauhid (monoteisme) untuk selalu mau mengorbankan ‘Ismail’ mereka – seperti harta, kedudukan, anggota keluarga, harga diri atau bahkan nyawa – demi keyakinan (iman) kepada Tuhan?
Walhasil, di Mina kemudian Ibrahim bersiap dengan pisau terhunus, siaga menyembelih anaknya dengan tangannya sendiri. Di Mina itu Tuhan menguji Ibrahim.
Di situ ia mengunggah idealisme, mewujudkan sebuah kebebasan absolut yang disertai penyerahan total. Maka, di tempat lain mana pun di dunia, Tuhan hendak menguji setiap hamba yang mengaku beriman: akankah mereka mengalahkan Setan atau ego mereka, demi menunjukkan keyakinan dan cinta yang tulus kepada Rabb Penguasa Seluruh Alam?
Lewat komitmennya, Ibrahim mengajarkan bahwa hanya dengan kerendahan hati dan penyerahan total sajalah seorang hamba bisa tunduk dan cinta kepada kepada Tuhan.
Sesungguhnya, penyerahan total tanpa ‘reserve’ itulah Islam – yang hanya menganggap Tuhan sajalah yang Besar, Maha Besar dan Abadi, dan segala sesuatu lainnya adalah kecil, adalah fana, adalah nol. Maka, karena semuanya selain Tuhan adalah ketiadaan, temporer, menua, menjadi aus, atau mati, maka semuanya patut dikorbankan.
Hanya dengan demikian, seorang hamba lalu bisa berjuang keras, membersihkan hati dari kotoran akibat memperturutkan nafsu duniawi – termasuk iri, dengki, rakus, bangga diri dan kesombongan — dan menjalin cinta kepada sesama manusia sebagaimana dicontohkan cucu Ibrahim yang hidup sekitar 1500 tahun kemudian, yakni Nabi Muhammad saw.
Sang Nabi pun mengajarkan bahwa setiap Muslim yang bertakwa, tidak cukup hanya menunjukkan iman kepada Tuhan, melainkan juga wajib melakukan amal saleh. Dari makna katanya, ‘amal saleh’ itu adalah ‘karya yang baik’, yaitu semua perbuatan yang mendatangkan manfaat bagi orang lain.
Sehingga dalam salah satu ayatnya, Tuhan menegaskan bahwa Dia menciptakan kematian dan kehidupan, ”untuk menguji kamu, siapa di antaramu yang paling baik amalnya.”
Tentu saja ada amal yang bermanfaat untuk diri sang pelaku sendiri, seperti solat malam atau berzikir. Tapi yang lebih besar ganjarannya, adalah amal yang berguna bagi dua pihak: sang sang pelaku dan bagi orang lain. Misalnya adalah membebaskan orang dari himpitan ekonomi, membuat mereka yang bodoh menjadi pintar lewat pendidikan, dan melepaskan mereka yang lemah dari keterbelakangan – yang semuanya merupakan ibadah sosial alias ‘muamalah’.
Nabi Muhammad saw menekankan pentingnya ibadah sosial itu. Di dalam salah satu hadis sahih, Nabi saw mengatakan bahwa, “Barang siapa yang bangun pagi dan berniat menolong orang yang teraniaya dan memenuhi keperluan orang Islam, baginya ganjaran seperti haji mabrur.
Itu sebabnya, dalam beberapa riwayat dikatakan adanya orang-orang yang gagal atau urung pergi ke Tanah Suci, misalnya karena bekalnya habis diberikan pada orang yang membutuhkan, tapi mendapat pahala haji.
Di saat haji pun, ketika seseorang mengalami ‘cacat’ atau kurang sempurna dalam pelaksanaan rukun hajinya, maka salah satu denda (kifarat) yang mesti dilakukan seseorang adalah memberi makan sekian orang.
Semuanya menjadi bukti bahwa bila ada yang kurang sempurna pada rukun ibadah kepada Tuhan, yang vertikal, itu maka penggantinya adalah ibadah sosial yang bersifat horizontal.
Bukan hanya haji. Jika seorang Muslim berhalangan atau uzur sehingga tidak dapat melaksanakan kewajiban puasa Ramadhan, umpamanya, maka salah satu ‘denda’-nya adalah memberi makan sejumlah orang miskin.
Di dalam salah satu hadisnya Nabi menyatakan bahwa, hamba yang paling dicintai Allah ialah yang paling bermanfaat bagi manusia. Lalu kata beliau lagi, “Amal yang paling utama adalah memasukkan rasa bahagia pada hati orang yang beriman – menutup rasa lapar, membebaskan orang dari kesulitan, atau membayarkan hutangnya.”
Di tempat lain, Nabi juga mengatakan, mencari ilmu satu saat lebih baik dari sembahyang satu malam, sedangkan mencari ilmu satu hari lebih baik dari puasa tiga bulan.
Itu semua bukan berarti kita menganggap enteng solat, puasa, haji dan ibadah vertikal lainnya. Kita hanya hendak menempatkan ‘muamalah’ pada proporsi yang tepat, dan untuk mengingatkan kita bahwa kita tidak boleh merasa puas menjadi Muslim hanya karena kita telah solat, berpuasa dan naik haji.
Sebab di samping itu semua, masalah sosial masih terbentang sangat luas – apalagi dalam negara seperti Indonesia yang masih dibebani puluhan juta orang terpuruk dan miskin atau ‘dimiskinkan’, akibat korupsi sementara pejabatnya.
Bukan hanya dalam tindakan. Bahkan di dalam doa-doa yang diajarkan Nabi saw dan keluarga (Ahul Bait)-nya yang suci, sering termaktub permohonan buat orang lain juga. Saat Ramadhan, misalnya, terdapat sebuah doa yang populer.
Berikut sebagian petikannya: Wahai Tuhan /Masukkanlah rasa bahagia kepada penghuni kubur / Kayakanlah mereka yang miskin/ Kenyangkan mereka yang lapar/Wahai Tuhan/ Sembuhkanlah mereka yang sakit/ Bebaskanlah kesulitan yang menghimpit mereka yg ditimpa kesusahan.
Makna doa itu tentu saja bukan sekedar meminta, tapi juga agar kita peduli pada mereka: membantu pengobatan yang sakit, atau menolong untuk membebaskan mereka yang berada dalam belenggu kesulitan.
”Tidak ada kebajikan yg lebih utama setelah iman, selain mendatangkan manfaat bagi orang lain; dan tidak ada kejelekan yang lebih jelek daripada musyrik selain mendatangkan kesengsaraan bagi orang lain,” kata Nabi saw dalam salah satu hadisnya.
Sesungguhnya, yang di atas itu termasuk silaturahmi, yang di dalam Islam merupakan perintah kedua setelah takwa. Yang mesti dicatat, silaturahmi memang tidak bisa dijalin dengan sekian kali solat sunnah atau puasa. Buktinya, Nabi pernah mengkritik orang yang solat di malam hari dan puasa di siang hari tetapi menyakiti tetangganya dengan lidahnya – sehingga beliau menyatakan bahwa orang itu di neraka.
Dengan kata lain, secara kasat mata – ekstrinsik – boleh jadi orang itu beragama, tapi secara intrinsik ia tidak beragama. Sebab, bila ‘di dalam’ jiwanya seseorang itu baik, menjadi bertakwa, maka dalam dirinya akan tumbuh cinta kepada Tuhan, yang diwujudkan lewat kasih sayang kepada sesama. Jika ingin solat diterima Allah, misalnya, maka pelakunya harus menyayangi anak yatim dan membantu orang miskin.
Bila tidak demikian, berarti ia belum menaati perintah Nabi saw yang tujuan pengutusannya adalah, “untuk menyebarkan rahmat (kasih sayang) kepada seluruh alam, ‘rahmatan li al-‘aalamien’. ”
*) Penulis adalah pengamat masalah sosial, agama dan komunikasi, serta peneliti di Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina. [mor]